Fajar berdiri pada tahun 1981, di prakarsai oleh tiga tokoh utama yakni Alwi Hamu, Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip. Kantor yang mengantongi izin dengan susah payah dari Departemen Penerangan yang di pimpin oleh Harmoko ini, pada awal beroperasinya terletak di jalan Ahmad Yani nomor 15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking sederhananya, WC-nya pun tidak ada.
Dengan menggunakan peralatan mesin ketik, Fajar beroperasi dengan hanya mengandalkan tiga wartawan: Abun Sanda (sekarang pejabat di Kompas Group), Aidir Amin Daud (sekarang penulis), dan Hamid Awaluddin (sekarang Duta Besar Rusia). Untuk urusan administrasi dan keuangan, diserahkan kepada Syamsu Nur (sekarang Direktur Utama Fajar Group).
Selanjutnya, seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah tempat belajar.
Dalam perjalanannya, Fajar pun mengalami masa-masa sulit. Harun Rasyid mengundurkan diri, begitu juga Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3. Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.
Pada tahun 1988, Fajar masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla, yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk mengembangkan Fajar, tapi Fajar tetap merugi. Namun dengan pada akhir tahun 1988, Fajar kemudian mengubah strategis dan bekerja sama dengan Jawa Pos Group yang dipimpin oleh Dahlan Iskan. Kerja sama ini mengangkat semangat kerja para awak Fajar. Walaupun bekerja sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karywan belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan yang mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapatkan ilmu dari Fajar.
Kerja sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat secara perlahan tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan ini membuat niat untuk pindah kantor muncul. Apalagi kantor Ahmad Yani dirasakan sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Selanjutnya pindah lokasi di tanah milik Jusuf Kalla di jalan Racing Centre Makassar. Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank. Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas. Gedung inilah yang menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun (1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level bisnis surat kabar.
Dengan perkembangan yang ada, jumlah karyawan semakin banyak sehingga kantor Racing Centre dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi semuanya. Rencana kantor yang lebih bersar di cetuskan.
Graha Pena yang terletak di jalan urip sumoharjo nomor 20 Makassar muali di bangun dan diresmikan pada awal tahun 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertiggi pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing Centre kemudian menjadi Universitas Fajar.
Sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2010/12/02/sejarah-panjang-harian-fajar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar