DRAF
SKRIPSI
NAMA : LA FULAN
NIM : 1009090909
JUDUL : KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MENGENTASKAN BUTA AKSARA DI DESA TONRALIPUE KECAMATAN
TANASITOLO KABUPATEN WAJO
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional telah di paparkan secara gamblang tentang keseluruhan mengenai
pendidikan. Salah satu yang paling pokok di dalamnya adalah bahwa Setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[1]
Hal inilah yang menjadi dasar acuan kita dalam dunia pedidikan. Oleh karena
itu, dalam rana pendidikan tidak ada yang mesti dikesampingkan orang miskin
atau orang kaya semua berhak mendapatkan pendidikan.
1
|
Masalah pendidikan orang tua dan
pemberantasan buta aksara merupakan masalah dunia. Seluruh negara di dunia dan
lembaga-lembaga internasional dan berbagai lembaga pendidikan di berbagai masyarakat,
kini sedang memperhatikan masalah tersebut, dengan langkah awal mempelajari
permasalahannya maupun bebagai usaha mengatasinya. Karena itu kemudian banyak
negara baik secara individual maupun kelompok di berbagai kalangan
masyarakatnya, berusaha sekeras mungkin untuk menyelesaikan persoalan tersebut.[3]
Pendidikan keaksaraan merupakan salah
satu perioritas nasional dengan target menurunkan jumlah orang dewasa buta
huruf sebesar 50% pada tahun 2009. Tujuan utama pendidikan keaksaraan
fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan
dasar baca, tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan
sehari-hari.[4]
Pada rana pendidikan, masyarakat dari
kalangan apapun, baik kalangan terendah sampai ke tingkat yang tinggi berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pendidikan dalam arti luas
memang dapat dikatakan sebagai usaha makro, membangun masyarakat baik mengenai
perekonomian, kemasyarakatan, kesehatan, dan kejiwaan di samping juga membangun
kebudayaannya. Pendidikan yang memiliki arti tersebut berarti menyentuh manusia
secara umum, tanpa terikat oleh umur dan pekerjaanya. Oleh karena itu, tentu
saja terdapat pemikiran tentang pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna
aksara di kalangan mereka.
Telah diakui bersama bahwa meratanya
tuna aksara di kalangan orang tua yang dianggap sebagai kelompok masyarakat
yang sangat berperan di dalam masyarakat, jelas hal itu akan mempengaruhi
pendapatan nasional dan kemajuan ekonomi. Hal itu benar-benar telah dipahami
oleh orang-orang yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ekonomi. Mereka
berpendapat bahwa modal manusia yang bependidikan itu, lebih tinggi nilainya dari
pada modal-modal lainnya. Terbukti beberapa negara yang memperhatikan
pendidikan orang-orang dewasa, ternyata dampak mereka sangat besar dalam
pengembangan ekonomi. Sebaliknya, sangat jelas perbedaannya dengan orang-orang
yang telah kehilangan kesempatan belajar, pada umumnya penghasilan mereka lebih
rendah dibandingkan dengan penghasilan orang-orang yang telah menempuh
pendidikan.
Pada masa ini, pendidikan dituntut dan
bertanggung jawab untuk membina masyarakat. Kita rasanya tidak dapat
memanfaatkan sesuatu tanpa dengan bantuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, siapapun
yang menerima pendapat tersebut, konsekuensinya bahwa dalam hidup ini yang
terpenting bagi setiap orang adalah mencari ilmu pengetahuan atau menjadi orang
yang berpendidikan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak akan mempu
menggunakan sarana-sarana kehidupan yang merupakan hasil ilmu pengetahuan itu
dengan sebaik-baiknya. Kemajuan apapun bagi negara atau masyarakat, tentu akan
memberikan dampak terhadap kemajuan pendidikan dan pengajaran pada masyarakat.
Memang dilematis dan cukup sulit pada
zaman sekarang ini, berbagai bidang kehidupan, baik industri, perdagangan,
pertanian dan lain sebagainya senantiasa banyak menggunakan peralatan moderen.
Dan kita mengetahui bersama, bahwa untuk menggunakan berbagai peralatan
tersebut ternyata harus membutuhkan berbagai kemampuan ilmu pengetahuan, baik
teori maupun praktek. Lantas bagaimana mungkin orang yang menyandang tuna
aksara dapat mendambakan hidup yang moderen seperti sekarang ini.
Di sisi lain, penyandang buta aksara
khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari
jumlah penduduk 5.618.744 dan di antaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46
s/d 61 tahun ke atas.[5]
Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya tindakan-tindakan perubahan agar
angka yang cukup menyesakkan dada itu menjadi berkurang dan dapat
ditanggulangi.
Dewasa ini pendidikan diartikan sebagai
proses belajar seumur hidup dalam situasi informal, nonformal, dan formal.
Belajar tidak hanya berlangsung semata-mata di dalam kelas, tetapi juga di luar
kelas/ sekolah, di rumah, di masyarakat, di organisasi-organisasi, di
tempat-tempat ibadah, di tempat-tempat bekerja, di taman-taman bacaan, dan
sebagainya. Para pelajarnya bukan hanya anak-anak tetapi orang dewasa dalam
masyarakat.[6]
Pendidikan keaksaraan merupakan
pendidikan bagi siapa saja yang menyandang buta aksara, baik anak-anak maupun
orang tua atau lansia sekalipun. Hal ini mengacu pada Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”.[7]
Pendidikan
keaksaraan bukan hanya tanggung jawab suatu lembaga tertentu atau departemen
tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab
seluruh masyarakat. Oleh karena itu, maka seluruh lembaga, departemen, kelompok-kelompok
sosial, perniagaan, dan seluruh anggota masyarakat harus bertanggung jawab
untuk selalu berperan serta dalam menghadapi masalah pendidikan dan
pemberantasan buta aksara.
Dari berbagai pihak yang memiliki peran
dalam pemberantasan buta aksara, banyak di antara mereka yang berhasil dan
tidak sedikit pula yang gagal dalam memberantas buta aksara. Peran serta dan
partisipasi masyarakat penyandang tuna aksara sangat dibutuhkan jika tidak,
maka hal ini tentu akan menimbulkan kegagalan.
Begitu juga dengan Keaksaraan fungsional
di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo tentu akan mengharapkan
peran serta masyarakat dalam mengentaskan buta aksara sebagai salah satu
penanggung jawab pendidikan keaksaraan. Terbukti dengan adanya lembaga
masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ibu-ibu PKK, serta
berbagai kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Keaksaraan
Fungsional demi mewujudkan melek aksara.
Dengan adanya berbagai pihak,
pemerintah, masyarakat maupun pihak yang ingin berpartisipasi dalam
pemberantasan buta aksara ini, ternyata belum mampu untuk secara tuntas
mengentaskan buta aksara khusunya di Desa Tonralipue. Walaupun warga
masyarakatnya ikut serta dalam program pendidikan keaksaraan tersebut.
Selain itu, yang harus diperhatikan dalam
persoalan ini adalah pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan yang sangat
sensitif, Sikap yang terkesan menggurui cenderung ditanggapi negatif. Mereka
cenderung menghindar, menolak dan merasa tersinggung apabila diperlakukan
seperti anak-anak. Mereka akan menolak situasi belajar yang bertentangan dengan
konsep dirinya sebagai individu yang mandiri.
Karena sebagian besar peserta didiknya
adalah orang dewasa yang cenderung menganggap dirinya mampu untuk membuat
keputusan dan mampu menghadapi segala resiko atas keputusannya, serta mengatur
hidupnya lebih mandiri. Harga diri sangat penting bagi orang dewasa.[8]
Terlebih lagi ketika menghadapi masyarakat suku bugis di pedesaan seperti Desa
Tonralipue. Mereka memiliki prinsip hidup yang kuat dan akan sulit untuk
dirubah.
Misalnya, mlopo mua etdoeG nedmto nsikol
(maloppo mua tedongnge na de’mato
nassikola) yang berarti “toh juga kerbau mampu tumbuh dewasa walaupun ia
tidak sekolah” dari pepatah inilah kadang seseorang tejebak sehingga mereka
tidak lagi memiliki semangat untuk sekolah. Mereka tidak tahu bahwa kaedah
sederhana bahwa binatang itu tidak memiliki akal, hanya memiliki insting yang
kemudian digunakan untuk mencari makan dan segala hal yang menyangkut dengan
dirinya. Sedangkan manusia memiliki akal, budi pekerti dan hasrat untuk
melakukan sesuatu. Manusia perlu bekerja dan melakukan segala sesuatu yang
menyangkut kehidupannya. Manusia adalah makhluk sosial, mereka saling tolong
menolong dan sudah tentu manusia membutuhkan akal serta ilmu yang dimilikinya
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu kita berikan
pengarahan kepada orang-orang yang memiliki perinsip tesebut agar mereka mampu
meningkatkan kecakapan hidup mereka menjadi lebih baik.
Selain dari prinsip di atas, berbagai
macam alasan yang diungkapkan masyarakat mengenai tentang pendidikan
keaksaraan. Alasan ketidak mampuan melihat huruf, faktor umur yang sudah lansia,
faktor tidak adanya waktu luang untuk belajar karena sibuk pada pekerjaan dan berbagai faktor
lainnya. Itulah sebabnya mengapa pendidikan keaksaraan begitu sulit
dibandingkan dengan pendidikan lainnya.
Berdasarkan permasalahan pemberantasan
buta aksara di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dalam sebuah
penelitian yang berjudul “ Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta
Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka
penulis bermaksud merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi titik fokus
dalam penelitian ini, yakni:
1. Bagaimana
Media Pembelajaran Pengentasan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo?
2. Bagaimana
Metode Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo?
C.
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka penulis mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara yang masih
membutuhkan pembuktian melalui data emperis yang diperoleh dari penelitian
lapangan dan beberapa literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas
dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Diduga
bahwa media yang digunakan untuk mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah media-media sederhana yang terdapat di
sekitar lingkungan belajar agar warga belajar lebih mampu menyesuaikan diri
dengan media yang digunakan oleh para tutor.
2. Diduga bahwa Metode yang digunakan Keaksaraan
Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di desa Tonralipue kec.
Tanasitolo kab. Wajo adalah metode ceramah dan metode demonstrasi.
D.
Definisi
Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Guna memahami secara utuh uraian penulis
dalam penelitian yang berjudul “ Keaksaraan Fungsional dalam Memberantas Buta
Aksara Di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”, maka penulis
terlebih dahulu menjelaskan beberapa hal yang dianggap memiliki peranan penting
dalam membangun teori konsep tersebut, yakni:
1. Keaksaraan
fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan
belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca,
berhitung, berfikir, mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar.[9]
2. Aksara
adalah huruf-huruf yang dibaca atau ditulis.[10]
3. Fungsional
adalah kegunaannya, kewajibannya, sesuai dengan fungsi.[11]
4. Buta
dapat diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan
warna dengan cara melihat. Sedangkan aksara adalah Huruf.[12]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa buta aksara adalah orang yang tidak mampu untuk
membaca dan menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.[13]
E.
Tinjauan
Pustaka
1.
Konsep
Keaksaraan Fungsional
Dalam undang-undang Republik Indonesia
telah menjelaskan bahwa pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi warga
masyarakat yang buta aksara latin agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung,
berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar, yang memberikan peluang untuk
aktualisasi potensi diri.[14]
Istilah Keaksaraan Fungsional telah lama
dikenal, yakni sejak pertengahan tahun 1960-an, dan merupakan konsep yang
sangat berpengaruh dalam membangun pendidikan melalui program keaksaraan.
Pesona ide tersebut tersebar luas. Banyak pihak yang sangat peduli terhadap ide
tersebut, antara lain pendidikan orang dewasa, para ahli pembangunan ekonomi,
pekerja pembangunan desa, lembaga-lembaga penyebar inovasi, para perencana dan
pelaksana pada lembaga-lembaga internasional. Ide dibalik itu sepertinya adalah
bahwa keaksaraan fungsional dapat mempunyai fungsi atau peran membangkitkan
pembangunan sosial ekonomi suatu masyarakat.[15]
Untuk memahami konsep keaksaraan
fungsional, kita perlu kembali melihat ketika ia dilahirkan, yaitu pada tanggal
8-18 september 1965 dalam suatu konferensi materi pendidikan sedunia tentang pemberantasan
buta aksara (eradication of illiteracy)
di Teheran, Iran. Selanjutnya, UNESCO (1966) meringkas dan memperjelas konsep
tersebut dengan elemen-elemen sebagai berikut:[16]
a. Program
keaksaraan hendaknya tergabung dan terhubung dengan perencanaan ekonomi dan
sosial.
b. Pemberantasan
buta aksara hendaknya dimulai dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi dan yang
bermanfaat bagi pengembangan daerahnya.
c. Program
keaksaraan hendaknya dikaitkan dengan prioritas ekonomi, dan dilaksanakan di
daerah yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi.
d. Program
keaksaraan seharusnya tidak hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga
pengetahuan profesional dan teknis sehingga menimbulkan partisipasi pembelajar
orang dewasa secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan civiv atau kewarganegaraan.
e. Program
keaksaraan merupakan bagian integral dari perencanaan pendidikan menyeluruh dan
sistem pendidikan yang berlaku.
f. Kebutuhan
pendanaan fungsional hendaknya berasal dari berbagai sumber pemerintahan dan
swasta maupun berasal dari investasi ekonomi.
g. Program
keaksaraan hendaknya membantu mencapai tujuan ekonomi, seperti: meningkatkan
produktifitas tenaga kerja, produksi bahan makanan, industrialisasi, mobilisasi
sosial dan profesional, kriteria tenaga kerja baru, dan beragamnya aktifitas
ekonomi.
Ciri-ciri tersebut mempunyai implikasi
penting tehadap beberapa hal, yakni:[17]
a. Terhadap
pengorganisasian program keaksaraan.
b. Implikasi
terhadap perencanaan menyeluruh, yaitu
bahwa perencanaan keaksaraan fungsional di satu sisi harus terpadu dengan
perencanaan pendidikan, dan dilain pihak dengan pengembangan sosial ekonomi.
c. Implikasi
terhadap metodologi mengajar; di sini timbul pertanyaan tentang keterpaduan
karena keaksaraan harus diajarkan bersamaan dengan pengetahuan profesional dan
teknikal.
d. Implikasi
terhadap isi program, yakni ketika faktor ekonomi harus ditekankan pada
pengembangan sosial dan partisipasi sosial, dan tidak boleh dipisahkan.
Untuk lebih memperjelas persoalan ini
maka perlu dijelaskan pengertian keaksaraan fungsional. Keaksaraan Fungsional
adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan belajar dalam
menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir,
mengamati, mendengar dan berbicara pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan
warga belajar.
Keaksaraan fungsional bertujuan membantu
warga belajar dalam menguasai dan menggunakan bahan calistung sendiri untuk
membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung
dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional sesuai
dengan kehidupan sehari-hari.[18]
Untuk mewujudkan upaya tersebut, tutor tidak hanya membantu warga belajar membaca,
menulis dan berhitung saja, juga diberikan pembelajaran mengenai
keterampilan-keterampilan yang mendukung kecakapan hidupnya.
Untuk menyelenggarakan program
keaksaraan fungsional dibutuhkan delapan prinsip utama pemahaman penyelenggaraan
program ini (Depdiknas, 2006), yaitu:[19]
a. Konteks
lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks
sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat
sekitarnya.
b. Desain
lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan warga
belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi/ sumber-sumber
setempat.
c. Proses
partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan
program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif.
d. Fungsionalisasi
hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan
keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaraan yang
dihadapi warga belajar.
e. Kesadaran. Proses
pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian
warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan
aktivitas kehidupannya.
f. Fleksibilitas,
program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga
responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan warga
belajar yang berubah dari waktu ke waktu.
g. Keanekaragaman,
hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi
pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar
disetiap daerah yang berbeda-beda.
h. Kesesuaian
hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan
oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar
menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara tutor
dan warga belajar.
2.
Perencanaan
dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional
Perencanaan pemberantasan buta aksara
hendaknya mempunyai sistem yang jelas yakni dimulai dengan mempersiapkan
berbagai data kependudukan yang benar-benar mampu menjelaskan seberapa besar
dan bagaimana gambaran yang ada mengenai penduduk buta aksara. Dapat pula
melakukan berbagai studi, penelitian-penelitian maupun percobaan-percobaan yang
baik, untuk mengklasifikasikan beberapa kategori tuna aksara tersebut. Sebab,
penentuan data-data kependudukan inilah yang nantinya akan menentukan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai pendidikan dan pemberantasan buta aksra
dikalangan mereka. Namun semua itu belumlah cukup, karena harus diikuti dengan
suatu perencanaan yang baik untuk menentukan berbagai sarana serta
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut baik mengenai bangunan-bangunan sekolah,
tenaga-tenaga pengajar/ guru/ tutor, buku-buku pelajaran, fasilitas-fasilitas
maupun sarana dan prasarana lainnya untuk pusat bimbingan, di dalam kelas
maupun untuk pelaksanaannya.[20]
Perencanaan pendidikan orang tua dan
pemberantasan tuna aksara itu sebaiknya berkaitan erat dengan perencanaan
lengkap pendidikan dan pemerintah, sehingga pemerintah dapat memberikan
berbagai prioritas kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Untuk melatih
para guru mengenai system pendidikan orang tua juga memerlukan suatu perhatian
besar dalam rangka merumuskan perencanaan pendidikan tersebut. Di antara
beberapa masalah yang sangat sulit yaitu usaha untuk menciptakan kalangan orang-orang
yang buta aksara itu, untuk menerima pendidikan tersebut. Begitu pula, sangat
sulit untuk merekrut berbagai kekuatan sosial yang ada secara sukarela untuk
ikut menangani masalah pemberantasan buta aksara atau pendidikan orang tua.
Dalam pembelajaran pemberantasan buta
aksara, maka diperlukan langkah-langkah perencanaan program pendidikan
keaksaraan fungsional sebagai berikut:[21]
a. Membentuk
struktur dan memperkuat unsur-unsur kelompok
Hal
pertama yang perlu dilakukan oleh tutor dan penyenggara adalah membentuk
kelompok belajar. Kelompok belajar bukanlah kumpulan orang, melainkan harus
terjalin suatu interaksi di antara mereka sehingga terbentuk sebuah kesatuan
kelompok belajar.
Hal
paling sederhana yang perlu dibentuk adalah memperjelas tujuan-tujuan kelompok
belajar, membentuk struktur (kepengurusan) kelompok, merumuskan norma/ tujuan
kelompok, memberi nama kelompok, menetapkan symbol atau lambang kelompok, dan
menyusun program kerja kelompok
b. Melakukan
pengukuran awal kemampuan keaksaraan dan kebutuhan belajar.
Mengidentifikasi
kemampuan awal warga belajar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi tentang
kemampuan awal dalam hal membaca, menulis, berhitung dan pengetahuan dasar yang
mereka miliki. Hasil pengukuran kemampuan awal itu sebaiknya direkam/ dicatat
dengan baik dan digunakan sebagai titik awal dalam mengmbangkan program
belajar. Berikut ini contoh format pencatatan kemampuan awal keaksaraan yang
bisa digunakan. Bersama dengan itu, sempat dilakukan identifikasi kebutuhan
belajar keterampilan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui kebutuhan
belajar keterampilan yang diinginkan dan memiliki oleh warga belajar, maka
tutor bersama warga belajar menentukan prioritas kebutuhan belajar yang akan
dilaksanakan setelah melakukan identifikasi.
c. Mengidentifikasi
tema-tema lokal dan sumber daya belajar setempat
Seiring
dengan pendekatan kemampuan awal dan kebutuhan belajar atau masalah sosial di
sekitar warga belajar, penting pula tutor melakukan identifikasi terutama yang
berguna untuk mendukung penyelenggraan pembelajaran. Termasuk juga sumberdaya
lokal yang perlu diidentifikasi adalah perorangan, badan usaha, toko, pasar dan
tempat-tempat yang dijadikan sebagai sumber belajar.
d. Melakukan
kontrak belajar
Agar
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mangajar dapat berjalan dengan lancar maka,
tutor dengan warga belajar membuat kesepakatan kapan kegiatan belajar mengajar
itu dilaksankan.
e. Menyusun
program belajar
Berdasarkan
kontrak belajar dan berbagai data dasar yang dimiliki selanjutnya tutor membuat
rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran ini dapat juga disebut sebagai
agenda kegiatan pembelajaran. Langkah- langkah yang ditempuh adalah sebagai
berikut:
1) Buat
topik-topik pembelajaran berdasarkan minat dan kebutuhan warga belajar.
2) Buat
jadwal pertemuan untuk mengembangkan proses KBM.
3) Tutor
bersama warga belajar mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan topik
tersebut.
f. Memilih
pendekatan pembelajaran
Pendekatan
pembelajaran merupakan prosedur/ langkah atau cara yang berisikan serangkaian
komponen pembelajaran keaksaraan (prinsip, kompetensi, tema, materi pokok,
langkah-langkah, metode, sumber belajar, media, monitoring evaluasi, tindak
lanjut) yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Contoh pendekatan
pembelajaran berbasis pada bahasa ibu, pembelajaran berbasis pada seni jiwa, pembelajaran
terpadu seni musik jalanan, peer learning, peer konseling, dsb.
g. Memilih
metode pembelajaran
Berdasarkan
kemampuan awal, jenis kebutuhan belajar, dan sumberdaya belajar yang terdata,
maka tutor dapat memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat
beberapa metode pembelajran yang dapat dipilih oleh tutor dalam menfasilitasi
pembelajaran keaksaraan. Metode pembelajaran itu misalnya dengan menggunakan
metode abjad, metode SAS (Structure- Analytic- Shytetic), metode PPB
(Pendekatan Pengalaman Bahasa), metode kata kunci (key words), metode abjad/
huruf, metode asosiasi, dan metode miqro.
h. Menyiapkan
sumber belajar
Sumber
belajar merupakan segala benda/ barang, aktifitas, kejadian/ peristiwa,
lingkungan, manusia dan kondisi yang menghasilkan sumber informasi yang
diperlukan dalam proses pembelajaran keaksaraan. Misal: buku, koran, bercocok
tanam, lingkungan sekitar (pasar, sawah, rumah, ternak, dsb), tutor, internet,
dsb.
i.
Menyiapkan media dan alat pembelajaran
Media
dan alat-alat pembelajaran yang disiapkan sebaiknya yang bersifat lokal, murah
serta fungsional dalam mendukung ketercapaian tujuan belajar. Bahan dan media
belajar pendidikan keaksaraan dapat juga memanfaatkan bahan-bahan cetak yang
ada dimasayarakat, seperti buku-buku, koran, majalah, resep makanan, etiket
obat, kartu tanda penduduk (KTP), dan sebagainya. Bahkan uang kertas maupun
uang logam dapat dimanfaatkan sebagai media dan bahan belajar.
j.
Menyiapkan instrumen administrasi,
monitoring dan evaluasi.
Sebagaiman
lazimnya program pembelajaran, maka tata usaha yang perlu dilakukan tutor
adalah membuat pencatatan pada berbagai buku administrasi yang sesuai. Berbagai
buku yang perlu dibuat oleh tutor misalnya buku induk warga belajar, buku
persiapan belajar, dan lain-lain. Berdasarkan pencatatan yang baik itu maka,
kebutuhan data untuk kepentingan monitoring dan evaluasi program pendidikan
keaksaraan yang diselenggarakan akan lebih mudah.
k. Menentukan
alokasi waktu
Alokasi
waktu tergambar dalam format rencana pembelajaran adalah jumlah pertemuan dan
lama waktu setiap pertemuan, misalnya 2 kali pertemuan @ 120 menit.
l.
Melaksanakan kegiatan pembelajaran
Sebenarnya tidak ada prosedur baku
yang harus dilakukan oleh tutor dalam melakukan kesepakatan pembelajaran.
Bagaimana kesepakatan pembelajaran yang baik sangat tergantung pada kreativitas
dan kemampuan para tutor itu sendiri.
3.
Buta
Aksara
Buta aksara terdiri dari dua kata yakni
buta dan aksara. buta diartikan sebagai diartikan sebagai tidak dapat melihat,
mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat.[22]
Sedangkan aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan
kekayaan akal budinya serta mengingat berbagai peristiwa. Karena daya ingat
manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam
kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut
adalah huruf.[23]
Aksara dapat terdiri dari huruf-huruf,
angka dan aksara khusus. Aksara yang meliputi huruf-huruf adalah:[24]
ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ
Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
Aksara yang meliputi angka-angka ialah:0123456789
Dan aksara khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}
UNESCO mendefinisikan buta aksara “ability to identify, understand, interpret,
create, communicate and compute, using printed and written materials associated
with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals
to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to
participate fully in their community and wider society”.[25]
Maksudnya adalah kemampuan untuk mengidentifikasi,
memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung, menggunakan material tercetak dan tertulis terkait dengan konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum
belajar dalam memungkinkan individu untuk mencapai tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi
mereka, dan untuk berpartisipasi sepenuhnya
dalam komunitas mereka dan masyarakat
yang lebih luas.
Kemampuan baca tulis dianggap penting
karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang
tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana
seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi
penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis kebijakan menganggap angka
melek aksara adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber
daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih
bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah dari pada melatih
orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki
status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih
baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca
tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada
pendidikan yang lebih tinggi.
4.
Pendidikan
Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan Fungsional
a.
Pengertian
Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi)
Perlu diketahui bersama bahwa
pemberantasan buta aksara adalah hal yang tidak mudah, apalagi kebanyakan dari
mereka adalah orang dewasa mulai dari umur 40 sampai 60 tahun ke atas.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyandang buta aksara khusunya
di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari jumlah
penduduk 5.618.744 Dan diantaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46 s/d 61
tahun ke atas Oleh karena itu, maka
pendidikan keaksaraan biasa juga disebut dengan pendidikan orang dewasa. Hal
inilah yang menjadi pokok persoalan dalam pemberantasan buta aksara.
Andragogi berasal dari kata andros atau aner yang berarti orang dewasa. Kemudian agogos berarti memimpin.
Andragogi berarti memimpin orang dewasa. Jadi adragogi dapat didefinisikan
sebagai seni dan ilmu mengajar orang dewasa.[26]
Untuk memahami secara mendasar tentang
konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini akan diuraikan secara tuntas
tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai ahli:
“Dugan
(1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya, andragogi berasal
dari Bahasa Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan anak-anak, menurut
istilah, andragogi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana orang tua belajar.
Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan Sudjana dalam Bukunya
Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung
Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani ”andra dan
agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau
membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing
orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai seni dan ilmu
yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of helping
adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam
Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to
helping adult a learner”.[27]
Selai itu, UNESCO (Townsed Coles, 1977
dalam Lanundi, 1982) mendefinisikan pendidikan orang dewasa sebagai berikut:
“Keseluruhan
proses pendidikan yang diorganisasikan, apa pun isi, tingkatan, metodenya, baik
formal atau tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di
sekolah, akademi dan universitas serta latihan kerja, yang membuat orang
dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan kemampuannya, memperkaya
pengetahuannya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakuny dalam
perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan patisipasi dalam
perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang dan bebas”.[28]
Dari pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah suatu pendidikan yang berusaha
untuk membantu orang dewasa dalam mendapatkan ilmu pengetahuan demi untuk
kecakapan hidupnya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
b.
Konsep
belajar keaksaraan bagi orang dewasa
Belajar merupakan usaha memperoleh
kepandaian atau ilmu seperti membaca dan berlatih.[29]
Dalam perspektif yang berbeda, belajar adalah suatu tahapan perubahan seluruh
tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[30]
Oleh karena itu, definisi belajar dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang keilmuan maupun untuk
memperbaiki tingkah laku menjadi lebih baik.
Perlu diketahui bahwa penekanan dalam
proses pembelajaran semakin lama semakin diarahkan pada pembelajar,
pemberdayaan meraka, serta manfaat bagi mereka, sehingga belajar dikatakan
sebagai usaha untuk membangun pemahaman yang mengarah pada tindakan.[31]
Pendidikan orang dewasa tentu sangat
berbeda dengan pendidikan anak-anak atau remaja. Hal itu terjadi karena orang
dewasa lebih cenderung mempertimbangkan segala hal yang akan dihadapinya,
mengingat mereka memiliki tanggung jawab dan kepentingan di setiap kegiatan.
Oleh karena itu, Malcolm Knowles mengemukakan beberapa asumsi model
pembelajaran orang dewasa yang berbeda dengan pembelajaran anak/ remaja, yaitu:
kebutuhan untuk mengetahui, konsep diri, peranan pengelaman, kesiapan belajar,
orientasi belajarnya, dan motivasi.[32]
Penjelasan asumsi-asumsi tersebut secara
garis besar adalah sebagai berikut:
a) Kebutuhan
untuk mengetahui.
Orang dewasa perlu mengetahui mengapa
mereka harus mempelajari sesuatu. Oleh karena itu, tugas utama fasilotator
adalah membantu warga belajar menjadi sadar akan perlunya mengetahui atau
paling tidak fasilotator dapat memaparkan kasus yang bersifat intelektual untuk
menunjukkan nilai dari pembelajaran yang akan dijalaninya guna meningkatkan
efektifitas kinerjanya atau kualitas hidupnya.
Sarana yang cukup ampuh untuk
menyadarkan akan perlunya mengetahui adalah pengalaman sesungguhnya, di mana
peserta belajar dapat mengemukakan kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki
saat ini dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki/ diinginkan.
b) Konsep
diri peserta belajar (pembelajar)
Secara umum orang dewasa memiliki konsep
diri bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas keputusan yang dibuat sendiri
atas kehidupannya. Jika mereka telah mempunyai konsep diri tersebut maka:
1) Mereka
akan mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk diperhatikan orang
lain;
2) Mereka
akan diperlakukan oleh orang lain sebagai individu yang mampu bersikap mengatur
orang lain;
3) Mereka
akan menolak dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan
kehendaknya.
Kosep diri orang dewasa kadang-kadang
tidak selamanya konsisten dalam proses kegiatan pembelajaran, misalnya begitu
mereka mengikuti sesuatu kegiatan pembelajaran, kadang-kadang mereka kembali
lagi ke kondisi seperti pada pengalaman masa lalu ketika mereka sekolah, yaitu
mengembangkan konsep ketergantungan. Hal tersebut menjadi tugas fasilitator
untuk mengembalikan atau mengembangkan kembali konsep diri siswa sebgai orang
dewasa sesungguhnya.
c) Peranan
pengalaman peserta belajar
Orang dewasa memasuki kegiatan
pembelajaran membawa pengalaman-pengalaman yang berbeda setiap individu. Hal
tersebut memberikan implikasi bahwa mereka adalah heterogen dari segi latar
belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat, sasaran, dan lain-lain.
Untuk itu penekanan dalam pembelajaran orang dewasa adalah strategi
pembelajaran individu yang mengutamakan teknik menggali pengalaman para peserta
belajar melalui diskusi kasus, simulasi, studi banding, dan lain-lain.
d) Kesiapan belajar
Penentuan waktu belajar (kapan, berapa
lama) hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan orang dewasa. Hal yang
lebih penting adalah perlu ada rangsangan terjadinya kesiapan belajar melalui
pengenalan terhadap model-model pembelajaran orang dewasa.
e) Orientasi
belajar
Orientasi belajar untuk orang dewasa
adalah terpusat pada masalah kehidupan/ tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan
menjadi termotivasi menggunakan energi untuk mempelajari sesuau asalkan mereka
merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut akan menolong dirinya dalam
melaksanakan tugas atau menghadapi dan menyelesaikan masalah yang mereka temui
dalam kehidupannya. Mereka akan mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan nilai-nilai baru dengan cara yang paling efektif, yaitu jika hal-hal baru
tersebut ditampilkan dalam konteks penerapannya pada situasi kehidupan yang
sebenarnya.
f) Motivasi
Motivasi
orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggapan terhadap beberapa dorongan
eksternal (posisi kerja yang lebih baik, kenali pangkar, kenaikan gaji, dan lain-lain).
Namun dorongan yang paling kuat adalah dorongan internal (keinginan untuk
meningkatkan kepuasan kerja, kebanggaan diri, mutu hidup, dan lain-lain). Semua
orang dewasa normal akan termotivasi untuk tetap tumbuh dan berkembang, tetapi
kadang-kadang terhambat oleh halangan seperti kosep diri negatif, tidak
terjangkaunya peluang atau sumber daya, batasan waktu, dan lain-lain.
c.
Faktor
yang mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa
Secara garis besar, faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa, yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah segala faktor yang bersumber dari dalam diri
warga belajar, seperti faktor fisiologis yang mencakup pendengaran,
penglihatan, kondisi fisiologis, serta faktor psikologis yang mencakup
kebutuhan, kecerdasan, motivasi, perhatian, berfikir, serta ingat dan lupa.
Sedangkan eksternal adalah segala faktor yang bersumber dari luar diri warga
belajar, seperti faktor lingkungan belajar yang mencakup lingkungan alam,
fisik, dan sosial serta faktor sistem penyajian mencakup kurikulum, bahan ajar,
dan metode penyajian.[33]
Uraian lebih lanjut mengenai setiap
faktor yang mempengaruhi interaksi belajar dikemukakan dalam uraian berikut:
1) Faktor
Fisiologis (Pendengaran, penglihatan dan kondisi fisiologis)
Segala
kegiatan belajar mengajar akan sangat dipengaruhi oleh pendengar, penglihatan
dan konsisi fisiologi warga belajar. Faktor umur yang sudah dewasa/ tua akan
membuat kondisi ketiga hal tersebut tidak lagi berfungsi secara maksimal.
Selain itu, kesegaran jasmani, keletihan, kurang gizi kurang tidur, atau sakit
yang diderita bisa saja terjadi terhadap setiap warga belajar.
Oleh
karena itu, pada jam pertemuan siang atau sore hari pada saat warga belajar
telah letih fisik dan mental, kita harus menggunakan strategi belajar
membelajarkan yang sesuai, yaitu yang berkadar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif),
seperti tugas perseorangan, diskusi kelompok kecil, main peran, permainan
belajar (game), atau strategi belajar mebelajarkan yang ada unsur menghibur
seperti pertunjukan film, video, slide.[34]
2) Faktor
Psikologis
Faktor
psikologis yang mempengaruhi proses interaksi belajar warga belajar pada garis
besarnya dikelompokkan atas aspek kecerdasan/ bakat, motivasi, perhatian,
berfikir, ingatan/ lupa dan sebagainya.
3) Faktor
Lingkungan Belajar
Lingkungan
belajar merupakan faktor yang juga sama pentingnya dengan faktor-faktor yang
telah disebutkan sebelumnya. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh tehadap
proses pembelajaran. Lingkungan yang tidak baik seperti kondisi dan letak
gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru, dan alat belajar yang
berkualitas rendah.
4) Sistem
Penyajian
Agar
proses pembelajaran bisa mencapai tujuan yang di inginkan, maka perlu kita
memperhatikan sistem penyajian. Seperti kurikulum, bahan ajar maupun metode
penyajian. Oleh karena itu, patut bagi setiap guru memperhatikan hal tersebut
dan menggunakan strategi dengan penyajian yang baik pada saat proses belajar
mengajar berlangsung.
5.
Media
Pendidikan
Di dalam pendidikan kita mengenal
berbagai istilah peragaan atau keperagaan. Ada yang lebih senang menggunakan
istilah peragaan. Tetapi ada pula yang menggunakan istilah komunikasi peragaan.
Dewasa ini telah mulai dipopulerkan istilah batu yakni media pendidikan.
Ciri-ciri umum media pendidikan adalah
sebagai berikut:[35]
a. Media
pendidikan identik artinya dengan pengertian keperagaan yang berasal dari kata
“raga”, artinya suatu benda yang diraba, dilihat, didengar, dan yang dapat
dinikmati melalui pancaindra kita.
b. Tekanan
utama terletak pada benda atau hal-hal yang bisa dilihat dan didengar.
c. Media
pendidikan digunakan dalam rangka hubungan komunikasi dalam pengajaran, antara
guru dan peserta didik.
d. Media
pendidikan adalah semacam alat bantu belajar mengajar, baik diluar kelas.
e. Berdasarkan
c dan d, maka pada dasarnya media pendidikan merupakan suatu perantara (medium,
media) dan digunakan dalam rangka pendidikan.
f. Media
pendidikan mengendung aspek; sebagai alat dan sebagai teknik, yang sangat erat
pertaliannya dengan metode mengajar.
Jadi, yang dimaksud dengan media
pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih
mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan peserta didik dalam
proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.[36]
Memilih media yang tepat untuk digunakan
dalam pembelajaran tidaklah mudah. Selain memerlukan analisis medalam dengan
mempertimbangkan berbagai aspek juga dibutuhkan prinsip-prinsip tertentu agar
memilih media bisa lebih tepat.
Ada tida prinsip utama yang bisa
dijadikan sebagai rujukan bagi guru dalam memilih media pembelajaran/
pendidikan, yaitu: (1) prinsip efektifitasdan efesiensi, (2) prinsip relevansi,
dan (3) prinsip produktifitas.[37]
Berikut ini diuraikan mengapa prinsip ini penting dan bagaimana memilih media
pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
a. Prinsip
efektifitas dan efisiensi
Dalam
konsep pembelajaran, efektifitas adalah keberhasilan pembelajaran yang diukur
tingkat ketercapaian tujuan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Jika
semua tujuan pembelajaran telah tecapai maka pembelajaran tersebut efektif.
Sedangkan efisiensi adalah tujuan pembelajaran dengan menggunkan biaya, waktu,
sumber daya lain seminimal mungkin.
b. Prinsip
relevansi
Relevansi
ini ada dua macam, yaitu relevansi kedalam dan relevansi ke luar. Relevansi
kedalam adalah pemilihan media pembelajaran yang mempertimbangkan kesesuaian
dan singkronisasi antara tujuan, isi, strategi, dan evaluasi materi
pembelajaran. Selain itu, relevansi ke dalam ini juga mempertimbangkan pesa,
guru, siswa, dan media yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru, kebutuhan
siswa, serta sesuai dengan materi yang disampaikan.
Sedangakan
relevansi ke luar adalah pemilihan media yang disesuaikan dengan kondisi
perkembangan masyarakat. media yang dipilih disesuaikan dengan apa yang biasa
digunakan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, media pembelajaran
hendaknyha disesuaikan dengan problem yang dihadapi peserta didik artinya media
yang digunakan sesuai dengan konteks kehidupan peserta didik yang sehari-hari
dilihat, didengar, dan dialami.
c. Sprinsip
produktifitas
Produktifitas
dapat dipahami sebagai pencapaian tujuan pembelajaran secara optimal dengan menggunakan
sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Dalam
memilih media pembelajaran, guru dituntut untuk bisa menganalisis apakah media
yang akan digunakan bisa meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran atau
tidak. Jika media yang digunakan bisa menghasilkan dan mencapai target serta
tujuan pembelajaran lebih bagus, maka media tersebut dikategorikan sebagai
media produktif.
Dalam memilih media perlu menganalisis
kriteria-kriteria media pembelajaran. Oleh karena itu, para pakar media
pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria tersebut dan kriteria pemilihan
media ini didasarkan pada aspek kesesuaian, muru media serta keterampilan guru
dalam menggunakan media.
Berikut ini penjelasan mengenai
kriteria-kriteria pemilihan media yang perlu diperhatikan, yakni:[38]
a. Kesesuaian
dengan tujuan
Pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu
pada tujuan yang telah dirumuskan. Maka pemilihan media hendaknya menunjang
pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan tersebut. Media dipilih
berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan yang secara umum mengacu
kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga rana kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Tujuan yang dirumuskan ini adalah kriteria yang paling pokok,
sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan kelengkapan dari keriteria
utama ini.
b. Ketepatgunaan
Tepat guna dalam konteks media
pembelajaran diartikan pemilihan media telah didasarkan pada kegunaan. Jika
media itu dirasa belum tepat dan belum berguna maka tidak perlu dipilih dan
digunakan dalam pembelajaran.
c. Keadaan
peserta didik
Kriteria pemilihan media yang baik
adalah disesuaikan dengan keadaan peserta didik, baik keadaan psikologis,
filosofis, maupun sosiologis anak. Sebab media yang tidak sesuai dengan keadaan
peserta didik tidak dapat membantu banyak dalam memahami materi pembelajaran.
Media yang efektif adalah media yang
penggunaanya tidak tergantung dari perbedaan individual peserta didik.
Misalnya, jika peserta didik tergolong tipe audtif-visual maka media yang kita
gunakan seharusnya juga media berbasis audio-visual. Begitu juga dengan keadaan
peserta didik yang kinestetik, maka media yang digunakan juga berbasis
kinestetik.
Oleh karena itu, agar media sesuai
dengan bekal awal maka sesuaikanlah media itu dengan apa yang telah dipahami
peserta didik. Agar media yang digunakan sesuai perkembangan peserta didik maka
pilihlah media yang sesuai dengan jenjang perkembagan psikologis mereka.
d. Ketersediaan
Walaupun suatu media dinilai sangat
tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan
jika tidak tersedia. Menurut Wilkonson, media merupakan alat mengajar dan
belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik dan guru.
Jangan sampai seorang guru menentukan
dan memilih media yang tidak tersedia di sekolah. Jika guru tidak mampu
menyiapkan atau membuat/ memproduksi media yang diperlukanm maka hendaknya
memilih media yang tersedia saja di sekolah tersebut untuk menjelaskan materi
pembelajaran.
e. Biaya
kecil
Faktor biaya seringkali menjadi
pertimbangan utama dalam memilih media pembelajaran. Seorang guru tidak
diperkenankan memilih media yang biayanya mahal namun hasil pembelajaran tidak
memuaskan. Oleh karena itu, pilihlah media yang murah dan sederhana dengan
hasil yang bagus. Kalaupun harus memilih media yang mahal, maka hasil yang
dicapai harus lebih baik dan bagus.
f. Keterampilan
guru
Aspek keterampilan guru ini seringkali
menjadi kendala tersendiri dalam proses pemilihan media. Banyak guru yang
memilih media sederhana dengan alasan tidak bisa mengoperasionalkan media yang
lebih canggih atau modern. Padahal dari sisi hasil media yang lebih canggih dan
modern bisa menghasilkan pembelajaran optimal.
Apapun media yang dipilih, guru harus
mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran. Nilai dan manfaat media amat
ditentukan oleh guru yang menggunkannya. Jangan sampai guru memilih media yang
dia sendiri tidak mampu mengoperasionalkan secara baik.
Media yang lebih bagus, misalnya
proyektor transparansi (OHP), proyektor slide dan film, komputer, dan peralatan
canggih lainnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika guru belum dapat
menggunkaannya dalam proses pembelajaran sebagai upaya mempertinggi mutu dan
hasil belajar.[39]
g. Mutu
teknis
Kualitas media jelas mempengaruhi
tingkat ketersampaian pesan atau materi pembelajaran kepada peserta didik.
Untuk itu, media yang dipilih harus memiliki mutu teknis yang bagus.
Misalnya, media visual yang dipilih,
baik gambar maupun fotografi, harus memenuhi persyaratan teknis tertentu.
Visual pada slide harus jelas dan informasi atau pesan yang ditonjolkan dan
ingin disampaikan tidak boleh terganggu oleh elemen lain yang berupa latar
belakang.
Selain itu, ada empat hal yang perlu
juga kita ketahui dalam menggunakan dan memilih media pembelajaran yakni
produksi, pserta didik, isi, dan guru.[40]
a. Pertimbangan
produksi
1) Availability (tersedianya
bahan); media yang akan efektif dalam mencapai tujuan, bila bahan dan berada
pada sistem yang tepat.
2) Cost (biaya);
harga yang tinggi tidak menjamin penyusunan menjadi tepat, demikian sebaliknya
tanpa biaya juga tidak akan berhasil, artinya tujuan belum tentu dapat dicapai.
3) Pysical cindotion
(kondisi fisik); misalnya dengan warna yang buram, akan mengganggu kelancaran
belajar mengajar.
4) Accessibility to student
(mudah dicapai); maksudnya, pembelian bahan/ peralatan hendaknya yang
dwifungsi, yaitu guru dapat menggunkaannya, peserta didik juga semakin mudah
mencerna pelajaran.
5) Emotional impact (dampak
emosional); pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media harus mempunyai
nilai estetika sehingga akan lebih menarik dan dapat menumbuhkan motivasi
belajar.
b. Pertimbangan
peserta didik
1) Student characteristics (watak
siswa); guru harus mempu memahami tingkat kematangan latar belakang peserta
didik. Dengan demikian, agur dapat menentukan pilihan-pilihan media yang sesuai
dengan karakter peserta didik.
2) Student relevance (kesesuaian
dengan peserta didik); bahan yang relevan akan memberi nilai positif dalam
mencapai tujuan belajar, pengarunya akan meningkatkan pengalaman peserta didik,
pengembangan pola pikir, analisis pelajaran, sehingga dapat menceritakan
kembali pelajaran yang telah diajarkan dengan baik.
3) Student invovement (keterlibatan
siswa); bahan yang disajikan akan memberikan kemampuan peserta didik dan
keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental (peran aktif siswa) untuk
meningkatkan potensi belajar.
c. Petimbangan
isi
1) Penggunaan
media harus sesuai dengan isi kurikulum, tujuan harus jelas, perlu direncanakan
dengan baik.
2) Banayak
bahan yang sudah diprogram (software)
siap pakai/ bahan jadi, tapi kemungkinan bahan jadi tersebut belum tentu cocok
dan mungkin sudah ketinggalan zaman hingga tidak sesuai lagi.
3) Perlu
penyajian yang baik dan benar.
d. Petimbangan
guru
1) Guru
harus mempertimbangkan dari segi kemanfaatan media yang akan digunakan sebagai
bahan pertimbnagan.
2) Media
yang digunkaan mampu memcahkan permasalahan, jangan malah menimbulkan masalah
baru. Maka perlu observasi dan review
bahan-bahan tersebut sebelum disajikan.
F.
Metodologi
Penelitian
1.
Populasi
dan Sampel
a. Populasi
Dalam mengadakan penelitian, diharapkan
dapat memberikan informasi atau daya yang dibutuhkan dan dapat pula dilakukan
dengan sebagian objek saja. Penelitian yang dilakukan pada objek yang
diharapkan dapat memberikan informasi atau data yang dibutuhkan dinamakan
populasi.
Untuk lebih jelasnya pengetian populasi,
berikut dikutip dari pendapat Suharsini Arikunto, yang mengatakan bahwa
“populasi adalah keseluruhan objek penelitian apabila ingin meneliti semua
elemen yang ada dalam wilayah penelitian ini, maka penelitian merupakan
penelitian populasi”.[41]
Berdasarkan pendapat tersebut di atas,
maka populasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan
orang yang yang terlibat dalam keaksaraan fungsional di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo yakni para tutor sebanyak 5 orang dan warga
belajar sebanyak 39 orang. Jadi total keseluruhannya adalah 44 orang.
b. Sampel
Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[42]
Dalamsuatu penelitian lapangan kerapkali orang tidak bisa menyelidiki secara
keseluruhan atau individu objek yang ada. Karena dengan beberapa alasan,
misalnya: keterbatasan waktu, biaya, atau dana dan tenaga. Adapun sampel yang
dikemukakan oleh Sutrisno Hadi mengatakan bahwa sampel adalah sejumlah penduduk
yang jumlahnya kurang dari populasi, jumlah sampel paling sedikit atau sifat
yang sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan.[43]
Pemilihan sampel didasarkan kepada
jumlah yang sudah ditentukan, sebagai wakil penelitian untuk menentukan sampel
yang jumlahnya sesuai dengan ukuran yang akan dijadikan sumber data sebenarnya,
dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang
sebenar-benar mewakili populasi.
Dari pengertian di atas, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan
sebagai sumber data. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 13
orang.
2.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu studi yang betujuan untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang sedang
berlangsung pada saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan sesudahnya.[44]
Data yang diperoleh kemudian diolah, ditafsirkan, dan disimpulkan.
3.
Metode
Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu
proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.[45]
4.
Metode
Pengumpulan data
Metode pengumpulan data ialah teknik
atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.[46]
Dalam pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian, maka diperlukan
beberapa instrumen penelitian sebagai berikut:
a. Obeservasi
Kegiatan
obeservasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian,
perilaku, obyek-obyek, yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan. Pada
tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau
informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti harus melakukan obsevasi
yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan
sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus
menerus terjadi. Jika hal itu sudah ditemukan, maka peneliti dapat menemukan
tema-tema yang akan diteliti.[47]
b. Wawancara
Wawancara
adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai atau
pendapatnya mengenai suatu hal.[48]
Oleh karena itu, dengan menggunakan metode wawancara, peneliti mengadakan tanya
jawab kepada responden atau sampel yang diteliti untuk memperoleh informasi
yang behubungan dalam penelitian ini.
c. Kajian
Dokumen
Kajian
dokumen merupakan sarana pembantu
peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca
surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu
dan bahan-bahan tulisan lainnya.[49]
5.
Metode
Analisis Data
Setelah data terkumpul melalu prosedur pengumpulan
data, maka langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah menganalisa
data. Teknik yang dilakukan sangat tergantung pada pokok persoalan dan jenis
data yang berhasil dikumpulkan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini dalah analisa data yang bersifat deskriptif kualitatif, ini dimaksudkan agar penelitian
yang dilakukan akan berdasarkan pada faktor atau fenomena yang ditemukan di
lokasi penelitian.
G.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
a. Untuk
mengetahui langkah-langkah yang Ditempuh Keaksaraan Fungsional dalam
menumbuhkan kesadaran warga agar ikut serta dalam Pengentasan buta aksara di
Desa Tonralipue Kec. Tanasitolo Kab. Wajo.
b. Untuk
mengetahui Metode yang digunakan Keaksaraan Fungsional (KF) dalam mengentaskan
buta aksara di Desa Tonralipue Kec. Tanasitolo Kab. Wajo.
c. Untuk
mengetahui metode Keaksaraan Fungsional (KF) dalam mempertahankan warga belajar
agar tetap konsisten dalam pembelajaran buta aksara di Desa Tonralipue Kec.
Tanasitolo Kab. Wajo.
2.
Kegunaan
Penelitian
a. Bagi
pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi untuk lebih
memusatkan perhatian terhadap pemberantasan buta aksara sebagai salah satu
pendidikan keaksaraan fungsional.
b. Bagi
totor/ guru, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memantapkan
pembelajaran keaksaraan fungsional terhadap penyandang buta aksara agar program
pemberantasan buta aksara akan cepat terselesaikan.
c. Bagi
warga belajar penyandang buta aksara, akan mendapatkan pembelajaran keaksaraan
fungsional dengan kualitas pendidikan yang baik.
d. Bagi
peneliti, dapat dijadikan sebgai referensi untuk penelitian selannjutnya.
KERANGKA
ISI (OUTLINE)
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Hipotesis
D. Definisi
Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
E. Kajian
Pustaka
F. Metodologi
Penelitian
G. Tujuan
dan Keguanaan Penelitian
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep
Keaksaraan Fungsional
B. Perencanaan
dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional
C. Buta
Aksara
D. Pendidikan
Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan Fungsional
E. Media
Pendidikan
BAB
III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
B. Metode
Pendekatan
C. Metode
Pengumpulan Data
D. Metode
Analisis Data
45
|
BAB
IV HASIL PENELITIAN
1. Media
yang digunakan keaksaraan fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.
2. Metode
Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.
BAB
V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi
Penelitian
KEPUSTAKAAN
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Nazali Shaleh. Al Tarbiyyah wa Mujtama’, ter.
Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan
Masayarakat. Yogyakarta: Sabda Media, 2011.
Aryad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Arikunto,
Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka
Cipta, 1996.
Basleman, Anisah dan
Syamsu Mappa. Teori Belajar Orang Dewasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
________“Buta Aksara
Fungsional.” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional
(08
Maret 2012)
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka,1991.
Dinas Pendidikan
Provinsi Sulawesi Selatan, data tahun 2010.
Ensiklopedi Nasional
Indonesia. Aksara. Jilid 1 Cet. IV;
Bekasi: Delta Pamungkas, 2004.
Hamalik, Oemar. Media
Pendidikan. Cet. VI; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.
Himpunan PP 2010
tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2011.
Kamil, Mustofa. Model
Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta, 2010.
Kamil, Mustofa. Andragogi, (t.t, t.p, t.th), (17 Maret
2012).
47
|
Musfiqon, Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran.
Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012.
Republik Indonesia.
“Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional”, bab
IV, Pasal Lima ayat 1.
Riduwan. Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru,
Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta, 2011.
Rohani, Ahmad. Media Instruksional Edukatif. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin. Pendidikan Non Formal: Suatu Pengantar dalam
Pemahaman Konsep dan Perinsip-Prinsip Pengembangan. Ujung Pandang: IKIP
Ujung Pandang, 1985.
Saliman dan Sudarsono. Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum.
Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Cet. IX; Bandung:
Alfabeta, 2002.
Sujarwo. Konsep Dasar Keaksaraan Fungsional: Skripsi
Sarjana. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri, Yogyakarta, 2008.
Sulton, Latifah. Keberhasilan
Program Keaksaraan Fungsional (KF). Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor:
2008.
Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga
Aplikasi. Cet. III; Jakarta:Bumi Aksara, 2009.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Cet.XI; Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Tim Prima Pena. Kamus
Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah “Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial,
Budaya dan Sains. Edisi Lengkap. Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006.
UNESCO. The Plurality of Literacy and its implications for
Policies and Programmes (France: the United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization, 2004.
Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses
Belajar yang Kreatif dan Efektif. Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
[1] Republik Indonesia,
“Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”, bab
IV, Pasal Lima ayat 1.
[2] Himpunan PP 2010 tentang
Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011) ,
h. 38.
[3] Nazili Shaleh Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’, ter.
Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan
Masayarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), h. 115.
[4] Sujarwo, “ Konsep Dasar
Keaksaraan Fungsional” ( Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta, 2008), h. 4.
[5] Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi selatan, data tahun 2010.
[6] Sahabuddin, Pendidikan Non Formal (Suatu Pengantar dalam Pemahaman Konsep dan
Prinsip-Prinsip Pengembangan) ( Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang,1985), h.
48.
[7] Republik Indonesia, “ Undang-undang
R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, loc.cit.
[8] Nazili Shaleh Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’., op. cit., h. 119.
[9] Sujarwo, loc. cit.
[10] Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 8.
[11]
Tim Prima
Pena. Kamus Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah “Ideologi, Politik, Hukum,
Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains. Edisi Lengkap (Cet. I; Surabaya:
Gitamedia Press, 2006), h. 145.
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, (Balai Pustaka, 1991), h. 160.
[13] “ Buta Aksara Fungsional,” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional (
08 Maret 2012).
[14] Himpunan PP 2010 tentang
Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, op.cit.,
h. 44.
[15] M. Saleh Marzuki, Pendidikan Nonformal. ( Surabaya: Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 116.
[16] Ibid., h. 120.
[17] Ibid., h. 121.
[18] Sujarwo, loc.cit.
[19] Latifah Sulton, Keberhasilan
Program Keaksaraan Fungsional,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor: 2008), h.
12-13.
[20] Nazili Shaleh Ahmad, op.cit., h. 123.
[21] Sujarwo, op. cit., h. 7.
[22] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, loc. cit.
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Aksara”, Jilid 1 (Cet. IV; Bekasi:
Delta Pamungkas, 2004), h. 216.
[24] Ibid., h. 215.
[25] UNESCO, The Plurality of
Literacy and its implications for Policies and Programmes (France: the United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization, 2004), h. 13.
[26] M. Saleh Marzuki, op.cit., h. 166.
[27] Mustofa Kamil, Andragogi, (t.t, t.p, t.th), (17 Maret
2012).
[28] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga Aplikasi (Cet. III;
Jakarta:Bumi Aksara, 2009), h. 12.
[29] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, op.cit., h. 14.
[30] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Cet.XI; Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 68.
[31] Mustofa Kamil, Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan
Aplikasi) (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 37.
[32] Hamzah B. Uno, Model
Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar yang Kreatif dan Efektif (Cet. VII;
Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 58.
[33] Anisah Basleman dan Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 29.
[34] Ibid., h. 32.
[35] Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Cet. VI; Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989), h. 11.
[36] Ibid., h. 12.
[37] Musfiqon, Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran (Jakarta: Prestasi
Pustakarya, 2012), h. 116.
[38] Ibid., h. 118-121.
[39] Azhar Arsyad, Media Pembelajaran (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 76.
[40] Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), h. 30.
[41] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 115.
[42] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, (Cet. IX; Bandung: Alfabeta, 2002), h.
56.
[43] Ibid, h. 221.
[44] Riduwan, Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 207.
[45] Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 193.
[46] Riduwan, op. cit., h. 69.
[47] Jonathan Sarwono, op.cit., h. 224.
[48] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan., op.cit., h. 1127.