Judul: KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMBERANTAS BUTA AKSARA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah dipaparkan secara gamblang
tentang keseluruhan mengenai pendidikan. Salah satu yang paling pokok di
dalamnya adalah bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.[1]
Hal inilah yang menjadi dasar acuan kita dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu, dalam ranah pendidikan
tidak ada yang mesti dikesampingkan orang miskin atau orang kaya semua berhak
mendapatkan pendidikan.
Pendidikan
keaksaraan merupakan salah satu pendidikan nonformal, ini sesuai dengan
peraturan Pemerintah R.I bahwa program pendidikan nonformal meliputi,
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja serta pendidikan kesetaraan.[2]
1
|
Pendidikan
keaksaraan merupakan salah satu perioritas nasional dengan target menurunkan
jumlah orang dewasa buta huruf sebesar 50% pada tahun 2009. Tujuan utama
pendidikan Keaksaraan Fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat
memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya
dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Pada ranah
pendidikan, masyarakat dari kalangan apapun, baik kalangan terendah sampai ke
tingkat yang tinggi berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian,
pendidikan dalam arti luas memang dapat dikatakan sebagai usaha makro,
membangun masyarakat baik mengenai perekonomian, kemasyarakatan, kesehatan, dan
kejiwaan di samping juga membangun kebudayaannya. Pendidikan yang memiliki arti
tersebut berarti menyentuh manusia secara umum, tanpa terikat oleh umur dan
pekerjaanya. Oleh karena itu, tentu saja terdapat pemikiran tentang pendidikan
orang tua dan pemberantasan tuna aksara di kalangan mereka.
Telah diakui
bersama bahwa meratanya tuna aksara di kalangan orang tua yang dianggap sebagai
kelompok masyarakat yang sangat berperan di dalam masyarakat, jelas hal itu
akan mempengaruhi pendapatan nasional dan kemajuan ekonomi. Hal itu benar-benar
telah dipahami oleh orang-orang yang bertanggung jawab mengenai pendidikan
ekonomi. Mereka berpendapat bahwa modal manusia yang bependidikan itu, lebih
tinggi nilainya dari pada modal-modal lainnya. Terbukti beberapa negara yang
memperhatikan pendidikan orang-orang dewasa, ternyata dampak mereka sangat
besar dalam pengembangan ekonomi. Sebaliknya, sangat jelas perbedaannya dengan
orang-orang yang telah kehilangan kesempatan belajar, pada umumnya penghasilan
mereka lebih rendah dibandingkan dengan penghasilan orang-orang yang telah
menempuh pendidikan.
Pada masa ini,
pendidikan dituntut dan bertanggung jawab untuk membina masyarakat. Kita
rasanya tidak dapat memanfaatkan sesuatu tanpa dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, siapapun yang menerima pendapat tersebut, konsekuensinya bahwa
dalam hidup ini yang terpenting bagi setiap orang adalah mencari ilmu pengetahuan
atau menjadi orang yang berpendidikan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, seseorang
tidak akan mempu menggunakan sarana-sarana kehidupan yang merupakan hasil ilmu
pengetahuan itu dengan sebaik-baiknya. Kemajuan apapun bagi Negara atau
masyarakat, tentu akan memberikan dampak terhadap kemajuan pendidikan dan
pengajaran pada masyarakat.
Memang
dilematis dan cukup sulit pada zaman sekarang ini, berbagai bidang kehidupan,
baik industri, perdagangan, pertanian dan lain sebagainya senantiasa banyak
menggunakan peralatan moderen. Dan kita mengetahui bersama, bahwa untuk
menggunakan berbagai peralatan tersebut ternyata harus membutuhkan berbagai
kemampuan ilmu pengetahuan, baik teori maupun praktek. Lantas bagaimana mungkin
orang yang menyandang tuna aksara dapat mendambakan hidup yang moderen seperti
sekarang ini.
Di sisi lain,
penyandang buta aksara khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih
sebanyak 688.561 dari jumlah penduduk 5.618.744 dan di antaranya terdapat
519.203 penduduk usia 46 s/d 61 tahun ke atas.[5]
Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya tindakan-tindakan perubahan agar
angka yang cukup menyesakkan dada itu menjadi berkurang dan dapat
ditanggulangi.
Dewasa ini
pendidikan diartikan sebagai proses belajar seumur hidup dalam situasi informal,
nonformal, dan formal. Belajar tidak hanya berlangsung semata-mata di dalam
kelas, tetapi juga di luar kelas/ sekolah, di rumah, di masyarakat, di
organisasi-organisasi, di tempat-tempat ibadah, di tempat-tempat bekerja, di
taman-taman bacaan, dan sebagainya. Para pelajarnya bukan hanya anak-anak
tetapi orang dewasa dalam masyarakat.[6]
Pendidikan
keaksaraan merupakan pendidikan bagi siapa saja yang menyandang buta aksara,
baik anak-anak maupun orang tua atau lansia sekalipun. Hal ini mengacu pada Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”.[7]
Pendidikan keaksaraan bukan hanya tanggung
jawab suatu lembaga tertentu atau departemen tertentu saja, akan tetapi tanggung
jawab tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Oleh karena itu,
maka seluruh lembaga, departemen, kelompok-kelompok sosial, perniagaan, dan
seluruh anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk selalu berperan serta
dalam menghadapi masalah pendidikan dan pemberantasan buta aksara.
Dari berbagai
pihak yang memiliki peran dalam pemberantasan buta aksara, banyak di antara
mereka yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal dalam memberantas buta
aksara. Peran serta dan partisipasi masyarakat penyandang tuna aksara sangat
dibutuhkan jika tidak, maka hal ini tentu akan menimbulkan kegagalan.
Begitu juga
dengan Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten
Wajo tentu akan mengharapkan peran serta masyarakat dalam mengentaskan buta
aksara sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan keaksaraan. Terbukti
dengan adanya lembaga masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
ibu-ibu PKK, serta berbagai kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tergabung
dalam Keaksaraan Fungsional demi mewujudkan melek aksara.
Dengan adanya
berbagai pihak, pemerintah, masyarakat maupun pihak yang ingin berpartisipasi
dalam pemberantasan buta aksara ini, sudah mampu secara perlahan mengentaskan
buta aksara. Namun yang menjadi persoalan pokok adalah masih banyak warga
belajar yang ikut serta dalam program Keaksaraan Fungsional.
Yang harus
diperhatikan dalam persoalan ini adalah pendidikan keaksaraan merupakan
pendidikan yang sangat sensitif, sikap yang terkesan menggurui cenderung
ditanggapi negatif. Mereka cenderung menghindar, menolak dan merasa tersinggung
apabila diperlakukan seperti anak-anak. Mereka akan menolak situasi belajar
yang bertentangan dengan konsep dirinya sebagai individu yang mandiri.
Karena sebagian
besar peserta didiknya adalah orang dewasa yang cenderung menganggap dirinya
mampu untuk membuat keputusan dan mampu menghadapi segala resiko atas
keputusannya, serta mengatur hidupnya lebih mandiri. Harga diri sangat penting
bagi orang dewasa.[8] Terlebih
lagi ketika menghadapi masyarakat suku bugis di pedesaan seperti Desa
Tonralipue. Mereka memiliki prinsip hidup yang kuat dan akan sulit untuk
dirubah.
Misalnya, “maloppo mua tedongnge na de’mato nassikola”
yang berarti “toh juga kerbau mampu tumbuh dewasa walaupun ia tidak sekolah”
dari pepatah inilah kadang seseorang tejebak sehingga mereka tidak lagi
memiliki semangat untuk sekolah. Mereka tidak tahu bahwa kaedah sederhana bahwa
binatang itu tidak memiliki akal, hanya memiliki insting yang kemudian
digunakan untuk mencari makan dan segala hal yang menyangkut dengan dirinya.
Sedangkan manusia memiliki akal, budi pekerti dan hasrat untuk melakukan
sesuatu. Manusia perlu bekerja dan melakukan segala sesuatu yang menyangkut
kehidupannya. Manusia adalah makhluk sosial, mereka saling tolong menolong dan
sudah tentu manusia membutuhkan akal serta ilmu yang dimilikinya untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu kita berikan pengarahan
kepada orang-orang yang memiliki perinsip tesebut agar mereka mampu
meningkatkan kecakapan hidup mereka menjadi lebih baik.
Selain dari
prinsip di atas, berbagai macam alasan yang diungkapkan masyarakat mengenai
tentang pendidikan keaksaraan. Alasan ketidak mampuan melihat huruf, faktor
umur yang sudah lansia, faktor tidak adanya waktu luang untuk belajar
karena sibuk pada pekerjaan dan berbagai
faktor lainnya. Itulah sebabnya mengapa pendidikan keaksaraan begitu sulit
dibandingkan dengan pendidikan lainnya.
Walau persoalan-persoalan dalam masyarakat sangat kental, pendidikan
keaksaraan tetap dilaksanakan dan direncanakan dengan perancanaan yang matang
seperti menerapkan metode-metode pembelajaran keaksaraan dan media-media yang
digunakan. Dengan harapan, masyarakat menjadi semangat dan termotivasi ikut
serta dalam program keaksaraan untuk mengembangkan sumber daya manusianya
kearah yang lebih baik.
Berdasarkan
permasalahan pemberantasan buta aksara di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji hal tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Keaksaraan
Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka penulis bermaksud merumuskan beberapa masalah yang
akan menjadi titik fokus dalam penelitian ini, yakni:
1.
Bagaimana Media
Pembelajaran Pengentasan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo?
2.
Bagaimana
Metode Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo?
C.
Hipotesis
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka penulis mengemukakan hipotesa sebagai jawaban
sementara yang masih membutuhkan pembuktian melalui data emperis yang diperoleh
dari penelitian lapangan dan beberapa literatur yang berkaitan dengan masalah
yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1.
Diduga bahwa
media yang digunakan untuk mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah media-media sederhana yang terdapat
di sekitar lingkungan belajar agar warga belajar lebih mampu menyesuaikan diri
dengan media yang digunakan oleh para Tutor.
2.
Diduga bahwa Metode yang digunakan Keaksaraan
Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah metode ceramah dan metode demonstrasi.
D.
Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Guna memahami
secara utuh uraian penulis dalam penelitian yang berjudul “Keaksaraan
Fungsional dalam Memberantas Buta Aksara Di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo”, maka penulis terlebih dahulu menjelaskan beberapa
hal yang dianggap memiliki peranan penting dalam membangun teori konsep
tersebut, yakni:
1.
Keaksaraan
Fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan
belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca,
berhitung, berfikir, mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar.[9]
2.
Aksara adalah
huruf-huruf yang dibaca atau ditulis.[10]
3.
Fungsional
adalah kegunaannya, kewajibannya, sesuai dengan fungsi.[11]
4.
Buta dapat
diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna
dengan cara melihat. Sedangkan aksara adalah Huruf.[12]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa buta aksara adalah orang yang tidak mampu untuk
membaca dan menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.[13]
E.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui
dan mengamati media-media yang digunakan Keaksaraan Fungsional dalam
memberantas buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.
b. Untuk mengetahui
metode-metode yang digunakan Tutor Keaksaraan Fungsional dalam mengentaskan
buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Bagi
pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi untuk lebih
memusatkan perhatian terhadap pemberantasan buta aksara sebagai salah satu
pendidikan Keaksaraan Fungsional.
b.
Bagi Tutor/
guru, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memantapkan pembelajaran Keaksaraan
Fungsional terhadap penyandang buta aksara agar program pemberantasan buta
aksara akan cepat terselesaikan.
c.
Bagi warga
belajar penyandang buta aksara, akan mendapatkan pembelajaran Keaksaraan
Fungsional dengan kualitas pendidikan yang baik.
d.
Bagi peneliti,
dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selannjutnya.
F.
Garis Besar Isis Skripsi
Untu mengetahui secara
rinci dan sistematis tentang isi pokok skripsi ini, penulis menyusunnya menjadi
lima bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, maksudnya adalah untuk memudahkan
dan mengarahkan pembahasan serta mempertajam wacana dalam masalah pembahasan tersebut. Garis besar isi
skripsi disusun secara sistematis sebagai berikut:
Bab I, merupakan
pendahuluan yang meliputi (a) Latar belakang masalah. (b) Rumusan masalah yang
berisi permasalahan pokok dan sub pokok masalah. (c) Hipotesis, jawaban
sementara dari rumusan masalah dan selanjutnya disesuaikan dengan hasil
penelitian. (d) Definisi operasional dan ruang lingkup penelitian yang
menguraikan pengertian secara operasional tentang judul skripsi yang dibahas.
(e) Tujuan dan kegunaan penelitian yang menguraikan tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian baik secara ilmiah maupun secara praktis. (f) Garis besar isi
skripsi yang berisi kerangka pokok pembahasan yang ada dalam skripsi.
Bab II, berisi kajian
pustaka yang meliputi kajian teoritis mengenai konsep keaksaraan fungsional,
perencanaan dan pengaplikasian pendidikan keaksaraan fungsional, buta asara,
pendidikan orang dewasa (Andragogi) sebagai objek keaksaraan fungsional, dan
media pendidikan.
Bab III, membahas
metodologi penelitian yang meliputi populasi dan sampel, jenis penelitian ,
metode pendekatan, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data.
Bab IV, menguraikan
tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran umum lokasi penelitian, media
yang digunakan keaksaraan fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo serta metode yang digunakan keaksaraan
fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo.
Bab V, merupakan bab
penutup. Dalam bab ini, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan dengan hasil
yang diperoleh dari penelitian ini dan saran-saran, kemudian dilanjutkan dengan
daftar pustaka.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Keaksaraan Fungsional
Dalam
undang-undang Republik Indonesia telah menjelaskan bahwa pendidikan keaksaraan
merupakan pendidikan bagi warga masyarakat yang buta aksara latin agar mereka
dapat membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengetahuan
dasar, yang memberikan peluang untuk aktualisasi potensi diri.[14]
Istilah Keaksaraan
Fungsional telah lama dikenal, yakni sejak pertengahan tahun 1960-an, dan
merupakan konsep yang sangat berpengaruh dalam membangun pendidikan melalui
program keaksaraan. Pesona ide tersebut tersebar luas. Banyak pihak yang sangat
peduli terhadap ide tersebut, antara lain pendidikan orang dewasa, para ahli
pembangunan ekonomi, pekerja pembangunan desa, lembaga-lembaga penyebar
inovasi, para perencana dan pelaksana pada lembaga-lembaga internasional. Ide
dibalik itu sepertinya adalah bahwa Keaksaraan Fungsional dapat mempunyai
fungsi atau peran membangkitkan pembangunan sosial ekonomi suatu masyarakat.[15]
12
|
a.
Program
keaksaraan hendaknya tergabung dan terhubung dengan perencanaan ekonomi dan
sosial.
b.
Pemberantasan
buta aksara hendaknya dimulai dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi dan
yang bermanfaat bagi pengembangan daerahnya.
c.
Program
keaksaraan hendaknya dikaitkan dengan prioritas ekonomi, dan dilaksanakan di
daerah yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi.
d.
Program
keaksaraan seharusnya tidak hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga
pengetahuan profesional dan teknis sehingga menimbulkan partisipasi pembelajar
orang dewasa secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan civiv atau kewarganegaraan.
e.
Program
keaksaraan merupakan bagian integral dari perencanaan pendidikan menyeluruh dan
sistem pendidikan yang berlaku.
f.
Kebutuhan
pendanaan fungsional hendaknya berasal dari berbagai sumber pemerintahan dan
swasta maupun berasal dari investasi ekonomi.
g.
Program
keaksaraan hendaknya membantu mencapai tujuan ekonomi, seperti: meningkatkan
produktifitas tenaga kerja, produksi bahan makanan, industrialisasi, mobilisasi
sosial dan profesional, kriteria tenaga kerja baru, dan beragamnya aktifitas
ekonomi.
Ciri-ciri
tersebut mempunyai implikasi penting tehadap beberapa hal, yakni:[17]
a.
Terhadap
pengorganisasian program keaksaraan.
b.
Implikasi
terhadap perencanaan menyeluruh, yaitu
bahwa perencanaan Keaksaraan Fungsional di satu sisi harus terpadu dengan
perencanaan pendidikan, dan dilain pihak dengan pengembangan sosial ekonomi.
c.
Implikasi
terhadap metodologi mengajar; di sini timbul pertanyaan tentang keterpaduan
karena keaksaraan harus diajarkan bersamaan dengan pengetahuan profesional dan
teknikal.
d.
Implikasi
terhadap isi program, yakni ketika faktor ekonomi harus ditekankan pada
pengembangan sosial dan partisipasi sosial, dan tidak boleh dipisahkan.
Untuk lebih
memperjelas persoalan ini maka perlu dijelaskan pengertian Keaksaraan
Fungsional. Keaksaraan Fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk
mengembangkan kemampuan belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan
menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara pada
kehidupan sehari-hari dan lingkungan warga belajar.
Keaksaraan
Fungsional bertujuan membantu warga belajar dalam menguasai dan menggunakan
bahan CALISTUNG sendiri untuk
membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung
dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional sesuai
dengan kehidupan sehari-hari.[18]
Untuk mewujudkan upaya tersebut, Tutor tidak hanya membantu warga belajar
membaca, menulis dan berhitung saja, juga diberikan pembelajaran mengenai
keterampilan-keterampilan yang mendukung kecakapan hidupnya.
Untuk
menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional dibutuhkan delapan prinsip utama
pemahaman penyelenggaraan program ini (Depdiknas, 2006), yaitu:[19]
a.
Konteks lokal,
program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial
lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya.
b.
Desain lokal,
merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh Tutor dan warga
belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi/
sumber-sumber setempat.
c.
Proses
partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan
program Keaksaraan Fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi
partisipatif.
d.
Fungsionalisasi
hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan
keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaraan yang
dihadapi warga belajar.
e.
Kesadaran. Proses
pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian
warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan
aktivitas kehidupannya.
f.
Fleksibilitas,
program Keaksaraan Fungsional harus fleksibel, agar memungkinkan untuk
dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta
kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu.
g.
Keanekaragaman,
hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi
pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar
disetiap daerah yang berbeda-beda.
h.
Kesesuaian
hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan
oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar
menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara Tutor
dan warga belajar.
B.
Perencanaan dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional
Perencanaan
pemberantasan buta aksara hendaknya mempunyai sistem yang jelas yakni dimulai
dengan mempersiapkan berbagai data kependudukan yang benar-benar mampu
menjelaskan seberapa besar dan bagaimana gambaran yang ada mengenai penduduk
buta aksara. Dapat pula melakukan berbagai studi, penelitian-penelitian maupun
percobaan-percobaan yang baik, untuk mengklasifikasikan beberapa kategori tuna
aksara tersebut. Sebab penentuan data-data kependudukan inilah yang nantinya akan
menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pendidikan dan pemberantasan buta
aksra dikalangan mereka. Namun semua itu belumlah cukup karena harus diikuti
dengan suatu perencanaan yang baik untuk menentukan berbagai sarana serta
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut baik mengenai bangunan-bangunan sekolah,
tenaga-tenaga pengajar/ guru/ Tutor, buku-buku pelajaran, fasilitas-fasilitas
maupun sarana dan prasarana lainnya untuk pusat bimbingan, di dalam kelas
maupun untuk pelaksanaannya.[20]
Perencanaan
pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna aksara itu sebaiknya berkaitan erat
dengan perencanaan lengkap pendidikan dan pemerintah, sehingga pemerintah dapat
memberikan berbagai prioritas kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Untuk
melatih para guru mengenai sistem pendidikan
orang tua juga memerlukan suatu perhatian besar dalam rangka merumuskan
perencanaan pendidikan tersebut. Di antara beberapa masalah yang sangat sulit
yaitu usaha untuk menciptakan kalangan orang-orang yang buta aksara itu, untuk
menerima pendidikan tersebut. Begitu pula, sangat sulit untuk merekrut berbagai
kekuatan sosial yang ada secara sukarela untuk ikut menangani masalah
pemberantasan buta aksara atau pendidikan orang tua.
Dalam
pembelajaran pemberantasan buta aksara, maka diperlukan langkah-langkah
perencanaan program pendidikan Keaksaraan Fungsional sebagai berikut:[21]
a.
Membentuk
struktur dan memperkuat unsur-unsur kelompok
Hal pertama yang perlu dilakukan
oleh Tutor dan penyelenggara adalah membentuk kelompok
belajar. Kelompok belajar bukanlah kumpulan orang, melainkan harus terjalin
suatu interaksi di antara mereka sehingga terbentuk sebuah kesatuan kelompok
belajar.
Hal paling sederhana yang perlu
dibentuk adalah memperjelas tujuan-tujuan kelompok belajar, membentuk struktur
(kepengurusan) kelompok, merumuskan norma/ tujuan kelompok, memberi nama kelompok,
menetapkan simbol atau lambang kelompok, dan menyusun program kerja kelompok
b.
Melakukan
pengukuran awal kemampuan keaksaraan dan kebutuhan belajar
Mengidentifikasi kemampuan awal
warga belajar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi tentang kemampuan awal
dalam hal membaca, menulis, berhitung dan pengetahuan dasar yang mereka miliki.
Hasil pengukuran kemampuan awal itu sebaiknya direkam/ dicatat dengan baik dan
digunakan sebagai titik awal dalam mengembangkan
program belajar. Bersama dengan itu, sempat dilakukan identifikasi kebutuhan belajar
keterampilan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui kebutuhan belajar
keterampilan yang diinginkan dan memiliki oleh warga belajar, maka Tutor
bersama warga belajar menentukan prioritas kebutuhan belajar yang akan
dilaksanakan setelah melakukan identifikasi.
c.
Mengidentifikasi
tema-tema lokal dan sumber daya belajar setempat
Seiring dengan pendekatan kemampuan
awal dan kebutuhan belajar atau masalah sosial di sekitar warga belajar,
penting pula Tutor melakukan identifikasi terutama yang berguna untuk mendukung
penyelenggraan pembelajaran. Termasuk juga sumber daya lokal yang
perlu diidentifikasi adalah perorangan, badan usaha, toko, pasar dan
tempat-tempat yang dijadikan sebagai sumber belajar.
d.
Melakukan
kontrak belajar
Agar dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mangajar dapat berjalan dengan lancar maka, Tutor dengan warga belajar
membuat kesepakatan kapan kegiatan belajar mengajar itu dilaksankan.
e.
Menyusun
program belajar
Berdasarkan kontrak belajar dan berbagai data dasar yang dimiliki
selanjutnya Tutor membuat rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran ini dapat
juga disebut sebagai agenda kegiatan pembelajaran. Langkah- langkah yang
ditempuh adalah sebagai berikut:
1)
Buat
topik-topik pembelajaran berdasarkan minat dan kebutuhan warga belajar.
2)
Buat jadwal
pertemuan untuk mengembangkan proses KBM.
3)
Tutor bersama
warga belajar mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan topik tersebut.
f.
Memilih
pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran merupakan
prosedur/ langkah atau cara yang berisikan serangkaian komponen pembelajaran
keaksaraan (prinsip, kompetensi, tema, materi pokok, langkah-langkah, metode,
sumber belajar, media, monitoring evaluasi, tindak lanjut) yang digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Contoh pendekatan pembelajaran berbasis pada
bahasa ibu, pembelajaran berbasis pada seni jiwa, pembelajaran terpadu seni
musik jalanan, peer learning, peer konseling, dsb.
g.
Memilih metode
pembelajaran
Berdasarkan kemampuan awal, jenis
kebutuhan belajar, dan sumberdaya belajar yang terdata, maka Tutor dapat
memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat beberapa metode
pembelajran yang dapat dipilih oleh Tutor dalam menfasilitasi pembelajaran
keaksaraan. Metode pembelajaran itu misalnya dengan menggunakan metode abjad,
metode SAS (Structure- Analytic- Shytetic), metode PPB (Pendekatan Pengalaman
Bahasa), metode kata kunci (key words), metode abjad/ huruf, metode asosiasi,
dan metode miqro.
h.
Menyiapkan
sumber belajar
Sumber belajar merupakan segala
benda/ barang, aktifitas, kejadian/ peristiwa, lingkungan, manusia dan kondisi
yang menghasilkan sumber informasi yang diperlukan dalam proses pembelajaran
keaksaraan. Misal: buku, koran, bercocok tanam, lingkungan sekitar (pasar,
sawah, rumah, ternak, dsb), Tutor, internet, dsb.
i.
Menyiapkan
media dan alat pembelajaran
Media dan alat-alat pembelajaran
yang disiapkan sebaiknya yang bersifat lokal, murah serta fungsional dalam
mendukung ketercapaian tujuan belajar. Bahan dan media belajar pendidikan
keaksaraan dapat juga memanfaatkan bahan-bahan cetak yang ada di masayarakat,
seperti buku-buku, koran, majalah, resep makanan, etiket obat, kartu tanda
penduduk (KTP), dan sebagainya. Bahkan uang kertas maupun uang logam dapat
dimanfaatkan sebagai media dan bahan belajar.
j.
Menyiapkan
instrumen administrasi, monitoring dan evaluasi.
Sebagaimana
lazimnya program pembelajaran, maka tata usaha yang perlu dilakukan Tutor
adalah membuat pencatatan pada berbagai buku administrasi yang sesuai. Berbagai
buku yang perlu dibuat oleh Tutor misalnya buku induk warga belajar, buku
persiapan belajar, dan lain-lain. Berdasarkan pencatatan yang baik itu maka,
kebutuhan data untuk kepentingan monitoring dan evaluasi program pendidikan
keaksaraan yang diselenggarakan akan lebih mudah.
k.
Menentukan
alokasi waktu
Alokasi waktu tergambar dalam format
rencana pembelajaran adalah jumlah pertemuan dan lama waktu setiap pertemuan,
misalnya 2 kali pertemuan @ 120 menit.
l.
Melaksanakan
kegiatan pembelajaran
Sebenarnya tidak ada prosedur baku yang harus dilakukan oleh Tutor
dalam melakukan kesepakatan pembelajaran. Bagaimana kesepakatan pembelajaran
yang baik sangat tergantung pada kreativitas dan kemampuan para Tutor itu
sendiri.
C.
Buta Aksara
Buta aksara terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. Buta diartikan
sebagai diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk
dan warna dengan cara melihat.[22]
Sedangkan aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan
kekayaan akal budinya serta mengingat berbagai peristiwa. Karena daya ingat
manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam
kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut
adalah huruf.[23]
Aksara dapat terdiri dari huruf-huruf, angka dan aksara khusus.
Aksara yang meliputi huruf-huruf adalah:[24]
ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ
Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
Aksara
yang meliputi angka-angka ialah:0123456789
Dan
aksara khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}
UNESCO
mendefinisikan buta aksara
“ability to identify, understand, interpret, create, communicate
and compute, using printed and written materials associated with varying
contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to
achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to
participate fully in their community and wider society”.[25]
Maksudnya
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi
dan menghitung, menggunakan
material tercetak dan tertulis
terkait dengan konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum belajar
dalam memungkinkan individu untuk
mencapai tujuan mereka, untuk
mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam
komunitas mereka dan masyarakat yang
lebih luas.
Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran
berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya,
dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan,
menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis
kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam
mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini
didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu
baca-tulis jauh lebih murah dari pada melatih orang yang buta aksara, dan
umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi,
kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para
analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca tulis juga berarti
peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih
tinggi.
D.
Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan
Fungsional
a.
Pengertian Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi)
Perlu diketahui
bersama bahwa pemberantasan buta aksara adalah hal yang tidak mudah, apalagi
kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa mulai dari umur 40 sampai 60 tahun
ke atas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyandang buta aksara
khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari
jumlah penduduk 5.618.744 Dan diantaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46 s/d
61 tahun ke atas Oleh karena itu, maka
pendidikan keaksaraan biasaa juga disebut dengan pendidikan orang dewasa. Hal
inilah yang menjadi pokok persoalan dalam pemberantasan buta aksara.
Andragogi
berasal dari kata andros atau aner yang berarti orang dewasa. Kemudian
agogos berarti memimpin. Andragogi berarti
memimpin orang dewasa. Jadi adragogi dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu
mengajar orang dewasa.[26]
Untuk memahami
secara mendasar tentang konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini
akan diuraikan secara tuntas tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai
ahli:
“Dugan (1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya,
andragogi berasal dari Bahasa Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan
anak-anak, menurut istilah, andragogi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana
orang tua belajar. Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan Sudjana
dalam Bukunya Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori
Pendukung Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani
”andra dan agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau
membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing
orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai seni dan ilmu
yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of helping
adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam
Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to
helping adult a learner”.[27]
Selain itu,
UNESCO (Townsed Coles, 1977 dalam Lanundi, 1982) mendefinisikan pendidikan
orang dewasa sebagai berikut:
“Keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apa pun isi,
tingkatan, metodenya, baik formal atau tidak, yang melanjutkan maupun
menggantikan pendidikan semula di sekolah, akademi dan universitas serta
latihan kerja, yang membuat orang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan
kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap
dan perilakuny dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan
patisipasi dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang dan
bebas”.[28]
Dari pengertian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah suatu
pendidikan yang berusaha untuk membantu orang dewasa dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan demi untuk kecakapan hidupnya di masa sekarang dan masa yang akan
datang.
b.
Konsep belajar keaksaraan bagi orang dewasa
Belajar
merupakan usaha memperoleh kepandaian atau ilmu seperti membaca dan berlatih.[29]
Dalam perspektif yang berbeda, belajar adalah suatu tahapan perubahan seluruh
tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[30]
Oleh karena itu, definisi belajar dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang keilmuan maupun untuk
memperbaiki tingkah laku menjadi lebih baik.
Perlu diketahui
bahwa penekanan dalam proses pembelajaran semakin lama semakin diarahkan pada
pembelajar, pemberdayaan meraka, serta manfaat bagi mereka, sehingga belajar
dikatakan sebagai usaha untuk membangun pemahaman yang mengarah pada tindakan.[31]
Pendidikan
orang dewasa tentu sangat berbeda dengan pendidikan anak-anak atau remaja. Hal
itu terjadi karena orang dewasa lebih cenderung mempertimbangkan segala hal
yang akan dihadapinya, mengingat mereka memiliki tanggung jawab dan kepentingan
di setiap kegiatan. Oleh karena itu, Malcolm Knowles mengemukakan beberapa
asumsi model pembelajaran orang dewasa yang berbeda dengan pembelajaran anak/
remaja, yaitu: kebutuhan untuk mengetahui, konsep diri, peranan pengelaman,
kesiapan belajar, orientasi belajarnya, dan motivasi.[32]
Penjelasan
asumsi-asumsi tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
a)
Kebutuhan untuk
mengetahui.
Orang dewasa
perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu. Oleh karena itu,
tugas utama fasilotator adalah membantu warga belajar menjadi sadar akan
perlunya mengetahui atau paling tidak fasilotator dapat memaparkan kasus yang
bersifat intelektual untuk menunjukkan nilai dari pembelajaran yang akan
dijalaninya guna meningkatkan efektifitas kinerjanya atau kualitas hidupnya.
Sarana yang
cukup ampuh untuk menyadarkan akan perlunya mengetahui adalah pengalaman
sesungguhnya, dimana peserta belajar dapat mengemukakan kesenjangan antara
kemampuan yang dimiliki saat ini dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki/
diinginkan.
b)
Konsep diri
peserta belajar (pembelajar)
Secara umum
orang dewasa memiliki konsep diri bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas
keputusan yang dibuat sendiri atas kehidupannya. Jika mereka telah mempunyai
konsep diri tersebut maka:
1)
Mereka akan
mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk diperhatikan orang lain;
2)
Mereka akan
diperlakukan oleh orang lain sebagai individu yang mampu bersikap mengatur
orang lain;
3)
Mereka akan menolak
dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan kehendaknya.
Kosep diri
orang dewasa kadang-kadang tidak selamanya konsisten dalam proses kegiatan
pembelajaran, misalnya begitu mereka mengikuti sesuatu kegiatan pembelajaran,
kadang-kadang mereka kembali lagi ke kondisi seperti pada pengalaman masa lalu
ketika mereka sekolah, yaitu mengembangkan konsep ketergantungan. Hal tersebut
menjadi tugas fasilitator untuk mengembalikan atau mengembangkan kembali konsep
diri warga belajar sebagai orang
dewasa sesungguhnya.
c)
Peranan
pengalaman peserta belajar
Orang dewasa
memasuki kegiatan pembelajaran membawa pengalaman-pengalaman yang berbeda
setiap individu. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa mereka adalah
heterogen dari segi latar belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat,
sasaran, dan lain-lain. Untuk itu penekanan dalam pembelajaran orang dewasa
adalah strategi pembelajaran individu yang mengutamakan teknik menggali
pengalaman para peserta belajar melalui diskusi kasus, simulasi, studi banding,
dan lain-lain.
d)
Kesiapan belajar
Penentuan waktu
belajar (kapan, berapa lama) hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan
orang dewasa. Hal yang lebih penting adalah perlu ada rangsangan terjadinya
kesiapan belajar melalui pengenalan terhadap model-model pembelajaran orang
dewasa.
e)
Orientasi
belajar
Orientasi
belajar untuk orang dewasa adalah terpusat pada masalah kehidupan/ tugas yang
dihadapi. Orang dewasa akan menjadi termotivasi menggunakan energi untuk
mempelajari sesuau asalkan mereka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut
akan menolong dirinya dalam melaksanakan tugas atau menghadapi dan
menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam kehidupannya. Mereka akan
mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai baru dengan cara
yang paling efektif, yaitu jika hal-hal baru tersebut ditampilkan dalam konteks
penerapannya pada situasi kehidupan yang sebenarnya.
f)
Motivasi
Motivasi orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggapan terhadap
beberapa dorongan eksternal (posisi kerja yang lebih baik, kenali pangkar,
kenaikan gaji, dan lain-lain). Namun dorongan yang paling kuat adalah dorongan
internal (keinginan untuk meningkatkan kepuasan kerja, kebanggaan diri, mutu
hidup, dan lain-lain). Semua orang dewasa normal akan termotivasi untuk tetap
tumbuh dan berkembang, tetapi kadang-kadang terhambat oleh halangan seperti
kosep diri negatif, tidak terjangkaunya peluang atau sumber daya, batasan
waktu, dan lain-lain.
c.
Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa
Secara garis
besar, faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala faktor yang
bersumber dari dalam diri warga belajar, seperti faktor fisiologis yang
mencakup pendengaran, penglihatan, kondisi fisiologis, serta faktor psikologis
yang mencakup kebutuhan, kecerdasan, motivasi, perhatian, berfikir, serta ingat
dan lupa. Sedangkan eksternal adalah segala faktor yang bersumber dari luar
diri warga belajar, seperti faktor lingkungan belajar yang mencakup lingkungan
alam, fisik, dan sosial serta faktor sistem penyajian mencakup kurikulum, bahan
ajar, dan metode penyajian.[33]
Uraian lebih
lanjut mengenai setiap faktor yang mempengaruhi interaksi belajar dikemukakan
dalam uraian berikut:
1)
Faktor
Fisiologis (Pendengaran, penglihatan dan kondisi fisiologis)
Segala kegiatan belajar mengajar akan sangat dipengaruhi oleh
pendengar, penglihatan dan konsisi fisiologis
warga belajar. Faktor umur yang sudah dewasa/ tua akan membuat kondisi ketiga
hal tersebut tidak lagi berfungsi secara maksimal. Selain itu, kesegaran
jasmani, keletihan, kurang gizi kurang tidur, atau sakit yang diderita bisa
saja terjadi terhadap setiap warga belajar.
Oleh karena itu, pada jam pertemuan siang atau sore hari pada saat
warga belajar telah letih fisik dan mental, kita harus menggunakan strategi belajar
membelajarkan yang sesuai, yaitu yang berkadar CBSA (Cara Belajar Warga belajar
Aktif), seperti tugas perseorangan, diskusi kelompok kecil, main peran,
permainan belajar (game), atau strategi belajar membelajarkan
yang ada unsur menghibur seperti pertunjukan film, video, slide.[34]
2)
Faktor
Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi proses interaksi belajar warga
belajar pada garis besarnya dikelompokkan atas aspek kecerdasan/ bakat,
motivasi, perhatian, berfikir, ingatan/ lupa dan sebagainya.
3)
Faktor Lingkungan
Belajar
Lingkungan belajar merupakan faktor yang juga sama pentingnya
dengan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Faktor lingkungan akan
sangat berpengaruh tehadap proses pembelajaran. Lingkungan yang tidak baik
seperti kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru,
dan alat belajar yang berkualitas rendah.
4)
Sistem
Penyajian
Agar proses pembelajaran bisa mencapai tujuan yang diinginkan, maka
perlu kita memperhatikan sistem penyajian. Seperti kurikulum, bahan ajar maupun
metode penyajian. Oleh karena itu, patut bagi setiap guru memperhatikan hal
tersebut dan menggunakan strategi dengan penyajian yang baik pada saat proses
belajar mengajar berlangsung.
E.
Media Pendidikan
Di dalam
pendidikan kita mengenal berbagai istilah peragaan atau keperagaan. Ada yang
lebih senang menggunakan istilah peragaan. Tetapi ada pula yang menggunakan
istilah komunikasi peragaan. Dewasa ini telah mulai dipopulerkan istilah baku
yakni media pendidikan.
Ciri-ciri umum
media pendidikan adalah sebagai berikut:[35]
a.
Media
pendidikan identik artinya dengan pengertian keperagaan yang berasal dari kata
“raga”, artinya suatu benda yang diraba, dilihat, didengar, dan yang dapat
dinikmati melalui pancaindra kita.
b.
Tekanan utama
terletak pada benda atau hal-hal yang bisa dilihat dan didengar.
c.
Media
pendidikan digunakan dalam rangka hubungan komunikasi dalam pengajaran, antara
guru dan peserta didik.
d.
Media
pendidikan adalah semacam alat bantu belajar mengajar, baik diluar kelas.
e.
Berdasarkan c
dan d, maka pada dasarnya media pendidikan merupakan suatu perantara (medium,
media) dan digunakan dalam rangka pendidikan.
f.
Media pendidikan
mengendung aspek; sebagai alat dan sebagai teknik, yang sangat erat
pertaliannya dengan metode mengajar.
Jadi, yang
dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan
dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan
peserta didik dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.[36]
Memilih media
yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran tidaklah mudah. Selain memerlukan
analisis mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek juga dibutuhkan
prinsip-prinsip tertentu agar memilih media bisa lebih tepat.
Ada tiga
prinsip utama yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi guru dalam memilih media
pembelajaran/ pendidikan, yaitu: (1) prinsip efektifitas dan efesiensi, (2)
prinsip relevansi, dan (3) prinsip produktifitas.[37]
Berikut ini diuraikan mengapa prinsip ini penting dan bagaimana memilih media
pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
a.
Prinsip
efektifitas dan efisiensi
Dalam konsep pembelajaran, efektifitas adalah keberhasilan pembelajaran
yang diukur tingkat ketercapaian tujuan setelah pembelajaran selesai
dilaksanakan. Jika semua tujuan pembelajaran telah tercapai
maka pembelajaran tersebut efektif. Sedangkan efisiensi adalah tujuan
pembelajaran dengan menggunkan biaya, waktu, sumber daya lain seminimal
mungkin.
b.
Prinsip
relevansi
Relevansi ini ada dua macam, yaitu relevansi ke dalam
dan relevansi ke luar. Relevansi ke dalam adalah
pemilihan media pembelajaran yang mempertimbangkan kesesuaian dan singkronisasi
antara tujuan, isi, strategi, dan evaluasi materi pembelajaran. Selain itu,
relevansi ke dalam ini juga mempertimbangkan pesan,
guru, warga belajar, dan media yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru,
kebutuhan warga belajar, serta sesuai dengan materi yang disampaikan.
Sedangakan relevansi ke luar adalah pemilihan media yang
disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat. media yang dipilih
disesuaikan dengan apa yang biasaa digunakan masyarakat secara luas. Oleh
karena itu, media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan problem yang
dihadapi peserta didik artinya media yang digunakan sesuai dengan konteks
kehidupan peserta didik yang sehari-hari dilihat, didengar, dan dialami.
c.
Prinsip
produktifitas
Produktifitas dapat dipahami sebagai pencapaian tujuan pembelajaran
secara optimal dengan menggunakan sumber daya yang ada, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam.
Dalam memilih media pembelajaran, guru dituntut untuk bisa
menganalisis apakah media yang akan digunakan bisa meningkatkan pencapaian
tujuan pembelajaran atau tidak. Jika media yang digunakan bisa menghasilkan dan
mencapai target serta tujuan pembelajaran lebih bagus, maka media tersebut
dikategorikan sebagai media produktif.
Dalam memilih
media perlu menganalisis kriteria-kriteria media pembelajaran. Oleh karena itu,
para pakar media pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria tersebut dan
kriteria pemilihan media ini didasarkan pada aspek kesesuaian, mutu
media serta keterampilan guru dalam menggunakan media.
Berikut ini
penjelasan mengenai kriteria-kriteria pemilihan media yang perlu diperhatikan,
yakni:[38]
a.
Kesesuaian
dengan tujuan
Pembelajaran
dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Maka pemilihan
media hendaknya menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan
tersebut. Media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan
yang secara umum mengacu kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga
rana kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan yang dirumuskan ini adalah
kriteria yang paling pokok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan
kelengkapan dari keriteria utama ini.
b.
Ketepatgunaan
Tepat guna
dalam konteks media pembelajaran diartikan pemilihan media telah didasarkan
pada kegunaan. Jika media itu dirasa belum tepat dan belum berguna maka tidak
perlu dipilih dan digunakan dalam pembelajaran.
c.
Keadaan peserta
didik
Kriteria
pemilihan media yang baik adalah disesuaikan dengan keadaan peserta didik, baik
keadaan psikologis, filosofis, maupun sosiologis warga belajar.
Sebab media yang tidak sesuai dengan keadaan peserta didik tidak dapat membantu
banyak dalam memahami materi pembelajaran.
Media yang
efektif adalah media yang penggunaanya tidak tergantung dari perbedaan
individual peserta didik. Misalnya, jika peserta didik tergolong tipe audtif-visual
maka media yang kita gunakan seharusnya juga media berbasis audio-visual.
Begitu juga dengan keadaan peserta didik yang kinestetik, maka media yang
digunakan juga berbasis kinestetik.
Oleh karena
itu, agar media sesuai dengan bekal awal maka sesuaikanlah media itu dengan apa
yang telah dipahami peserta didik. Agar media yang digunakan sesuai
perkembangan peserta didik maka pilihlah media yang sesuai dengan jenjang
perkembagan psikologis mereka.
d.
Ketersediaan
Walaupun suatu
media dinilai sangat tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, media tersebut
tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut Wilkonson, media merupakan
alat mengajar dan belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan guru.
Jangan sampai
seorang guru menentukan dan memilih media yang tidak tersedia di sekolah. Jika
guru tidak mampu menyiapkan atau membuat/ memproduksi media yang diperlukan
maka hendaknya memilih media yang tersedia saja di sekolah tersebut untuk
menjelaskan materi pembelajaran.
e.
Biaya kecil
Faktor biaya
seringkali menjadi pertimbangan utama dalam memilih media pembelajaran. Seorang
guru tidak diperkenankan memilih media yang biayanya mahal namun hasil
pembelajaran tidak memuaskan. Oleh karena itu, pilihlah media yang murah dan
sederhana dengan hasil yang bagus. Kalaupun harus memilih media yang mahal,
maka hasil yang dicapai harus lebih baik dan bagus.
f.
Keterampilan
guru
Aspek
keterampilan guru ini seringkali menjadi kendala tersendiri dalam proses
pemilihan media. Banyak guru yang memilih media sederhana dengan alasan tidak
bisa mengoperasionalkan media yang lebih canggih atau modern. Padahal dari sisi
hasil media yang lebih canggih dan modern bisa menghasilkan pembelajaran
optimal.
Apapun media
yang dipilih, guru harus mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran. Nilai
dan manfaat media amat ditentukan oleh guru yang menggunakannya.
Jangan sampai guru memilih media yang dia sendiri tidak mampu
mengoperasionalkan secara baik.
Media yang
lebih bagus, misalnya proyektor transparansi (OHP), proyektor slide dan film,
komputer, dan peralatan canggih lainnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika
guru belum dapat menggunkaannya dalam proses pembelajaran sebagai upaya
mempertinggi mutu dan hasil belajar.[39]
g.
Mutu teknis
Kualitas media
jelas mempengaruhi tingkat ketersampaian pesan atau materi pembelajaran kepada
peserta didik. Untuk itu, media yang dipilih harus memiliki mutu teknis yang
bagus.
Misalnya, media
visual yang dipilih, baik gambar maupun fotografi, harus memenuhi persyaratan
teknis tertentu. Visual pada slide harus jelas dan informasi atau pesan yang
ditonjolkan dan ingin disampaikan tidak boleh terganggu oleh elemen lain yang
berupa latar belakang.
Selain itu, ada
empat hal yang perlu juga kita ketahui dalam menggunakan dan memilih media
pembelajaran yakni produksi, peserta didik,
isi, dan guru.[40]
a.
Pertimbangan
produksi
1)
Availability (tersedianya
bahan); media yang akan efektif dalam mencapai tujuan, bila bahan dan berada
pada sistem yang tepat.
2)
Cost (biaya); harga
yang tinggi tidak menjamin penyusunan menjadi tepat, demikian sebaliknya tanpa
biaya juga tidak akan berhasil, artinya tujuan belum tentu dapat dicapai.
3)
Pysical cindotion
(kondisi fisik); misalnya dengan warna yang buram, akan mengganggu kelancaran belajar
mengajar.
4)
Accessibility to student
(mudah dicapai); maksudnya, pembelian bahan/ peralatan hendaknya yang
dwifungsi, yaitu guru dapat menggunkaannya, peserta didik juga semakin mudah
mencerna pelajaran.
5)
Emotional impact (dampak
emosional); pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media harus mempunyai
nilai estetika sehingga akan lebih menarik dan dapat menumbuhkan motivasi
belajar.
b.
Pertimbangan
peserta didik
1)
Student characteristics (watak
warga belajar); guru harus mampu memahami
tingkat kematangan latar belakang peserta didik. Dengan demikian, agar
dapat menentukan pilihan-pilihan media yang sesuai dengan karakter peserta
didik.
2)
Student relevance (kesesuaian
dengan peserta didik); bahan yang relevan akan memberi nilai positif dalam
mencapai tujuan belajar, pengarunya akan meningkatkan pengalaman peserta didik,
pengembangan pola pikir, analisis pelajaran, sehingga dapat menceritakan
kembali pelajaran yang telah diajarkan dengan baik.
3)
Student invovement (keterlibatan
warga belajar); bahan yang disajikan akan memberikan kemampuan peserta didik
dan keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental (peran aktif warga
belajar) untuk meningkatkan potensi belajar.
c.
Pertimbangan
isi
1)
Penggunaan
media harus sesuai dengan isi kurikulum, tujuan harus jelas, perlu direncanakan
dengan baik.
2)
Banyak bahan
yang sudah diprogram (software) siap
pakai/ bahan jadi, tapi kemungkinan bahan jadi tersebut belum tentu cocok dan
mungkin sudah ketinggalan zaman hingga tidak sesuai lagi.
3)
Perlu penyajian
yang baik dan benar.
d.
Petimbangan
guru
1)
Guru harus
mempertimbangkan dari segi kemanfaatan media yang akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan.
2)
Media yang
digunakan mampu memcahkan permasalahan, jangan malah menimbulkan masalah
baru. Maka perlu observasi dan review
bahan-bahan tersebut sebelum disajikan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Populasi dan Sampel
a.
Populasi
Dalam
mengadakan penelitian, diharapkan dapat memberikan informasi atau daya yang
dibutuhkan dan dapat pula dilakukan dengan sebagian objek saja. Penelitian yang
dilakukan pada objek yang diharapkan dapat memberikan informasi atau data yang
dibutuhkan dinamakan populasi.
Untuk lebih
jelasnya pengetian populasi, berikut dikutip dari pendapat Suharsini Arikunto,
yang mengatakan bahwa “populasi adalah keseluruhan objek penelitian apabila
ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian ini, maka
penelitian merupakan penelitian populasi”.[41]
Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, maka populasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah jumlah keseluruhan orang yang terlibat dalam Keaksaraan Fungsional di
Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo yakni para Tutor sebanyak 4
orang dan warga belajar sebanyak 39 orang. Jadi total keseluruhannya adalah 43
orang.
43
|
b.
Sampel
Sampel adalah
sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[42]
Dalam suatu
penelitian lapangan kerapkali orang tidak bisa menyelidiki secara keseluruhan
atau individu objek yang ada. Karena dengan beberapa alasan, misalnya:
keterbatasan waktu, biaya, atau dana dan tenaga. Adapun sampel yang dikemukakan
oleh Sutrisno Hadi mengatakan bahwa sampel adalah sejumlah penduduk yang
jumlahnya kurang dari populasi, jumlah sampel paling sedikit atau sifat yang
sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan.[43]
Pemilihan
sampel didasarkan kepada jumlah yang sudah ditentukan, sebagai wakil penelitian
untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran yang akan dijadikan
sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang sebenar-benar mewakili populasi.
Dari pengertian
di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian dari
populasi yang dijadikan sebagai sumber data. Adapun yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah 8 warga belajar keaksaraan dan 4 Tutor, maka jumlah keseluruhan adalah 12
orang.
B.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
studi yang betujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau
kejadian yang sedang berlangsung pada saat penelitian tanpa menghiraukan
sebelum dan sesudahnya.[44]
Data yang diperoleh kemudian diolah, ditafsirkan, dan disimpulkan.
C.
Metode Pendekatan
Dalam penulisan
skripsi ini, metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.[45]
D.
Metode Pengumpulan data
Metode
pengumpulan data ialah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data.[46]
Dalam pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian, maka diperlukan
beberapa instrumen penelitian sebagai berikut:
a.
Obeservasi
Kegiatan obeservasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik
kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek, yang dilihat dan hal-hal lain yang
diperlukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti
mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti
harus melakukan obsevasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau
informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku
dan hubungan yang terus menerus terjadi. Jika hal itu sudah ditemukan, maka
peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti.[47]
b.
Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk
dimintai keterangan atau
pendapatnya mengenai suatu hal.[48]
Oleh karena itu, dengan menggunakan metode wawancara, peneliti mengadakan tanya
jawab kepada responden atau sampel yang diteliti untuk memperoleh informasi
yang behubungan dalam penelitian ini.
c.
Kajian Dokumen
Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau
informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat,
pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya.[49]
E.
Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul melalui
prosedur pengumpulan data, maka langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti
adalah menganalisa data. Teknik yang dilakukan sangat tergantung pada pokok
persoalan dan jenis data yang berhasil dikumpulkan.
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisa data yang bersifat deskriptif
kualitatif, ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan akan
berdasarkan pada faktor atau fenomena yang ditemukan di lokasi penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Tonralipue
berada dalam wilayah Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Desa ini berada tepat di sebelah
Utara Desa Mannagae dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Anabbanua. Jumlah penduduknya
berkisar 365 orang dari 112 Kepala Rumah Tangga. Mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai petani dan sebahagian lainnya berdagang dan sebahagian lagi
berprofesi sebagai pengrajin atau penenun.
Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo sekarang dipimpin oleh bapak Drs.
Abdul Malik sebagai kepala desa sejak tahun 2008 sampai sekarang.
Pendidikan
keaksaraan di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo pada awalnya
diprakarsai oleh Kepala Desa dan pemerintah setempat atas keprihatinan mereka
terhadap masyarakat tuna aksara, terlebih lagi sekitar 70 % diantara penyandang
buta aksara itu adalah kaum lansia yang berkisar 45-70 tahun bahkan beberapa di
antaranya sudah berusia 90 tahun.
48
|
Pelaksana
program keaksaraan awalnya dipercayakan kepada para guru yang ingin
berpartisipasi dalam pemberantasan buta aksara. Namun seiring berjalannya
waktu, program Keaksaraan Fungsional kemudian diambil alih oleh ibu-ibu yang
tergabung dalam Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk kemudian
dikelolah dengan baik disertai dengan manajemen yang baik.
Pengurus PKK
membentuk kelompok-kelompok belajar dan menempatkan beberapa anggotanya di
setiap kelompok yang dibentuk. Pembentukan kelompok tersebut berdasarkan
kondisi rumah-rumah warga yang beberapa di antara mereka saling berjauhan. Oleh
karena itu, pengurus PKK menunjuk beberapa rumah warga untuk berkumpul dan
belajar keaksaraan. Sehingga, setiap kelompok belajar menempati rumah warga
yang telah di tentukan sebelumnya oleh pengurus PKK.
Selain dari lingkungan belajar yang ditetapkan, pengurus PKK juga
sesekali meminta rumah warga agar sesekali diacak untuk melaksanakan kegiatan
belajar mengajar keaksaraan. Hal ini dilakukan agar warga belajar tidak bosan
dengan lingkungan belajar yang statis. Selain itu, dengan cara ini warga dapat
menyambung silaturahmi antara sesama warga belajar.
Ketua PKK
Hj. Sudarmi Malik
|
Sekertaris PKK
Nur Lelah
|
Bendahara PKK
St. Irma
|
Pokja II PKK
Indo Ake
|
Pokja IV PKK
Suriani
|
Pokja I PKK
Kecceng
|
Pokja III PKK
Hasnawati HS
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
1.
Keadaan Warga
Belajar
Adapun keadaan
warga belajar Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo sebanyak 39 warga. Usia
rata-rata warga belajar mulai dari 15 s/d 30 tahun sebanyak 9
orang dan umur 31 s/d 90 tahun sebanyak 30
Orang.
Dengan melihat
dan mempertahtikan usia rata-rata warga belajar, dapat disimpulkan 80 %
warga belajar di atas usia 30 tahun. Oleh karena itu, perlu adanya konsep dan
perencanaan media pembelajaran yang baik dan efisien serta metode yang efektif
digunakan dalam membelajarkan warga belajar dan membebaskannya dari buta
aksara.
Berikut keadaan warga belajar di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo, Sebagai berikut:
Tabel 1
Data warga belajar Keaksaraan Fungsional Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
NAMA
|
TEMPAT, TGL
LAHIR
|
UMUR
|
P/L
|
Pendidikan Terakhir
|
ALAMAT
|
PEKERJAAN
|
1
|
Lammi
|
Lajokka, 2 Januari 1955
|
56 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
2
|
Maddanreng
|
Lajokka, 1956
|
55 Thn
|
P
|
SD
|
Dusun Pollappo
|
U.R.T
|
3
|
Donggeng
|
Cempalagi, 02 Maret 1965
|
36 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
4
|
I
Rifah
|
Wajo, 31 Des 1965
|
36 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
U.R.T
|
5
|
Daliah
|
Lajokka, 31 Des 1960
|
51 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
U.R.T
|
6
|
Yayah
Rukhayah
|
Jawa Barat, 31 Des 1962
|
49 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
U.R.T
|
7
|
Punru
|
Lajokka, 21 Des 1965
|
40 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
8
|
Musnaeni
|
Lajokka, 31 Des 1981
|
30 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Pengrajin
|
9
|
Hj.
Duma
|
Wajo, 1 Juli 1950
|
61 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
10
|
Indo
Tang
|
Lajokka, 1 Juli 1960
|
51 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
11
|
Hj.
Sini
|
Lajokka, 1966
|
45 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
12
|
H.
Demmu
|
Lajokka, 1966
|
45 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
13
|
Hj.
Nafi
|
Lajokka, 1 Juli 1943
|
68 Thn
|
P
|
SR/ Putus
Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Warung
|
14
|
I
Dali
|
Lajokka, 31 Des 1975
|
36 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
15
|
Jumadi
|
Tonralipue, 17 Okt 1972
|
39 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Tonralipue
|
I.R.T
|
16
|
Masse
|
Samata, 10 Des 1952
|
55 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
17
|
Mare
|
Lajokka, 1 Des 1962
|
49 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
18
|
Rawe
|
Lajokka, 1 Juli 1973
|
38 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
19
|
Ambo
Asse
|
Lajokka, 1931
|
± 80 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
20
|
Alang
|
Pollappo, 31 Des 1950
|
50 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Pengrajin
|
21
|
St.
Halijah
|
Pollappo, 3 Sept 1962
|
42 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
22
|
I
Yamma
|
Gilireng, 19 Okto 1980
|
31 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
23
|
Sitti
Hawang
|
Tonralipue, 21 Okto 1978
|
33 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
24
|
Palemmai
|
Lajokka, 1 Jan 1987
|
29 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
25
|
Sule
|
Sumatra, 1 Nov 1974
|
37 Thn
|
L
|
SD/ Putus
Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Petani
|
26
|
Sudarnawati
|
Lajokka, 15 Feb 1987
|
24 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
I.R.T
|
27
|
Hamsiah
|
Lajokka, 21 Apr 1994
|
17 Thn
|
P
|
SD/ Putus
Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
-
|
28
|
Diman
|
Lajokka, 23 Jan 1990
|
21 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
I.R.T
|
29
|
Yati
|
Lajokka, 18 Mei 1986
|
25 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
I.R.T
|
30
|
Heri
|
Lajokka, 10 Des 1985
|
26 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
Pengrajin
|
31
|
I
Tang
|
Tonralipue, 25 Des 1987
|
24 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
Petani
|
32
|
Indo
Upe
|
Lajokka, 13 Okto 1981
|
29 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
I.R.T
|
33
|
Muchsin
|
Lajokka, 20 Sep 1972
|
39 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
Pengrajin
|
34
|
Konding
|
Lajokka, 22 Sep 1980
|
31 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun Tonrong
|
Petani
|
35
|
St.
Rahmin
|
Lajokka, 31 Des 1977
|
34 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Pengrajin
|
36
|
I
Bondeng
|
Lajokka, 19 Des 1958
|
53 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
I.R.T
|
37
|
Hanisah
|
Lajokka, 31 Des 1967
|
44 Thn
|
P
|
SD/ Putus
Sekolah
|
Dusun Pollappo
|
Pengrajin
|
38
|
Hj. Alle
|
Lajokka, 1972
|
40 Thn
|
P
|
T. Sekolah
|
Dusun
Pollappo
|
I.R.T
|
39
|
Muhammad
|
Bampengnge, 1950
|
50 Thn
|
L
|
T. Sekolah
|
Dusun
Pollappo
|
Petani
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
2.
Keadaan Tutor
Keadaan Tutor pemberantasan
buta aksara dalam program Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo berasal dari anggota PKK yang berjumlah 4 orang sebagai berikut:
Tabel 2
Keadaan Turor Keaksaraan Fungsional Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
Nama
|
Jenjang Pendidikan
|
Umur
|
Alamat
|
1
|
Indo Ake
|
SMA
|
25 Tahun
|
Dusun Pollappo
|
2
|
Kecceng
|
SMA
|
29 Tahun
|
Dusun Pollappo
|
3
|
Hasnawati HS
|
SMA
|
27 Tahun
|
Dusun Pollappo
|
4
|
Suruani
|
SMA
|
21 Tahun
|
Dusun Pollappo
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
B.
Media yang Digunakan Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta
Aksara Di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
Media merupakan
alat peraga yang sangat membantu proses belajar mengajar di setiap
pembelajaran. Baik dalam pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Media
membuat materi ajar lebih menarik dan mudah dimengerti oleh warga belajar,
namun hal ini juga bergantung pada Tutor atau guru yang membawakan materi ajar
dengan menggunakan media.
Ketergantungan
proses pembelajaran terhadap media tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Keduanya harus bersinergi dalam setiap proses pembelajaran yang berlangsung.
Jika tidak, maka dapat dipastikan bahwa proses pendidikan akan menjadi
membosankan dan tidak dapat memberikan proses yang baik dalam setiap
pembelajaran.
Oleh karena
itu, dibutuhkan keterampilan penguasaan media dan materi ajar oleh Tutor.
Banyak hal yang mesti diperhatikan dalam pemilihan media, salah satunya
memiliki daya tarik bagi warga belajar agar mereka tertarik dan fokus pada
pelajaran yang akan dibawakan.
Menurut
Kecceng, dalam memilih media, saya sebagai salah satu Tutor buta aksara selalu
mengkondisikan media yang digunakan dengan warga belajar. Misalnya saya selalu
menggunakan media yang sesuai dengan visi misi materi pembelajaran. Selain itu,
saya juga menggunakan media yang bisa digunakan oleh masyarakat.[50]
Sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Kecceng di atas, maka hal ini sangat sesuai dengan
perinsip relevansi yang di ungkapkan oleh Dr. HM. Musfiqon, M.Pd, bahwa prinsip
relevansi itu ada dua macam yakni prinsip relevansi ke dalam dan prinsip
relevansi keluar. Prinsip relevansi ke dalam adalah mempertimbangkan antara
kesesuaian dan sinkronisasi antara tujuan, isi, strategi dan evaluasi materi
pembelajaran. Sehingga media yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru,
kebutuhan warga belajar serta sesuai dengan materi yang di sampaikan. Dan
relevansi keluar adalah memilih media pembelajaran yang disesuaikan dengan apa
yang bisa digunakan dan dimengerti oleh masyarakat luas. Artinya, media yang
digunakan harus sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik.[51]
Adapun
macam-macam media yang digunakan dalam proses belajar mengajar buta aksara di
desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten
Wajo:
1.
Media ATK
Media ini merupakan media yang paling dominan digunakan dalam
setiap proses pembelajaran, baik para warga belajar pemula maupun yang sudah
bisa mengenal huruf. Adapun jenis ATK yang dimaksud adalah papan tulis, spidol,
penghapus dan observasi yang kami lakukan bahwa media ini dinilai efektif
digunakan karena secara teknis Tutor dan para warga belajar bisa lebih
berkomunikasi dengan baik.
Cara menggunakannyapun cukup gampang. Tutor menuliskan beberapa
materi ajar di papan tulis kemudian
warga belajar menuliskannya di buku mereka masing-masing kemudian Tutor
menjelaskan dan menyebutkan hurufnya kemudian warga menyimak lalu ikut menyebut
hurufnya.
Setelah itu Tutor mencoba menghubungkan media ATK dengan materi
yang diajarkan. Tutor menuliskan huruf-huruf yang terkandung dalam media ATK
sebagai contohnya spidol, lalu Tutor menyebutkan hurufnya satu-satu, warga
belajar mengulangi. Setelah itu disebutkan perkata oleh Tutor, lalu diulangi
oleh warga belajar.
Mare, salah
satu warga belajar mengatakan bahwa “saya sangat senang ikut belajar keaksaraan
dengan menggunakan media ATK, karena saya senang menulis dan ingin segera
pintar menulis agar saya biasa menulis nama saya di karung gabah supaya karung saya
tidak tertukar dengan milik orang lain”.[52]
2.
Poster Abjad
dan Flash Card
Poster abjad dan flash card tidak jauh berbeda dari segi
materinya. Poster abjad terdiri dari selembar kertas karton yang berisikan
huruf-huruf dan angka-angka. Media ini digunakan untuk mengenalkan lebih jauh
tentang huruf dan angka-angka. Sedangkan flash card terdiri dari
lembaran-lembaran yang berisikan huruf-huruf dan angka-angka. Setiap lembarnya
hanya berisikan satu huruf saja. Dalam menggunakannya, setiap warga belajar di
ajak untuk menyebutkan satu kata, kemudian menyusun flash card sesuai kata yang
telah disebutkan sebelumnya.
Hasnawati HS, adalah satu Tutor
Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue mengatakan “kami setiap saat
menggunakan kedua media tersebut, namun media flash card yang sering
digunakan dalam proses pembelajaran. Ini disebabkan karena banyaknya warga
belajar yang sangat meminati media ini”.[53]
Secara
teknis, media ini dapat digunakan sesuai dengan kreatifitas Tutor, dari
observasi terlihat bahwa Tutor mengarahkan warga belajar untuk mencari bahan
ajar dari lingkungan sekitar, seperti meja, kursi, buku dan lain-lain, kemudian
Tutor mengarahkan warga belajar untuk menyusun huruf-huruf atau angka-angka
dari lembaran-lembaran flash card menjadi sebuah kata sesuai dengan bahan
ajar yang sebelumnya dipilih oleh warga belajar. Hj. Sini, salah satu warga
belajar mengemukakan bahwa “saya sangat senang dengan media flash card
di bandingkan dengan media poster abjad. Kalau flash card, saya bisa
lebih aktif dan semangat dalam belajar abjad, saya juga biasa lebih leluasa
untuk mencari sebuah kata yang saya inginkan seperti nama saya, nama suami
saya, dan nama-nama benda di rumah saya untuk kemudian saya susun menjadi
sebuah kata yang sesuai dengan benda yang saya maksud. Sedangkan poster abjad,
sangat membosankan, karena Tutor hanya menunjuk huruf dari poster abjad yang
tertempel di dinding dan kami mengucapkannya, terlebih akan sangat didominasi
oleh warga lain yang lebih mampu mengenali huruf dengan cepat ketimbang kami
yang lambat”.[54]
3.
Media dari
bahan-bahan cetak
Media seperti ini seringkali kita temukan di sekitar pemukiman
warga belajar, seperti buku-buku, Koran, majalah, resep makanan, etiket obat, Kartu Tanda Penduduk
(KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) dan sebagainya, bahkan uang kertas maupun
uang logam dapat dimanfaatkan sebagai media dan bahan belajar. Menurut Suriani,
Tutor Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue mengatakan bahwa “media ini sangat
simple dan sangat mudah ditemui di lingkungan warga belajar. Bahkan di setiap
rumah-rumah warga banyak yang memiliki media-media semacam ini. Disamping itu,
harganyapun terjangkau dan sering dibeli oleh warga belajar”.[55]
Dr. HM. Musfiqon, M.Pd dalam bukunya Pengembangan Media dan Sumber
Belajar mengemukakan bahwa dalam pemilihan media pembelajaran, seorang Tutor
tidak diperkenankan memilih media yang biayanya mahal namun hasil
pembelajarannya tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan media tersebut. Dalam bahasa orang ekonomi akan dikategorisasikan bangkrut
jika kita menggunakan modal dasar tetapi hasilnya sedikit. Oleh karena itu,
pilihlah media yang murah dan sederhana tetapi hasilnya banyak dan bagus.
Kalaupun harus memilih media yang mahal maka hasilnya harus lebih besar dan
lebih bagus.[56]
Dalam penggunaan media ini, warga belajar diarahkan oleh Tutor untuk
mengeja huruf atau membaca kata pertaka pada setiap media, kemudian Tutor akan
mebenarkan yang salah. Diman mengatakan “dulu saya benar-benar tidak tahu
membaca, menulis dan berhitung tetapi sekarang ini saya sedikit demi sedikit
sudah mampu membaca. Ini karena kami selalu dibimbing dan di ajarkan membaca
oleh Tutor dengan menggunakan Koran, majalah, pembungkus Rinso dan lain-lain
sebagainya. Sehingga saya juga bisa belajar membaca di rumah menggunakan media
tersebut.”[57]
Dari pemaparan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media yang digunakan dalam proses
pembelajaran Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo meliputi 3 jenis kelompok media, yakni media ATK (Alat Tulis
Kantor), media Poster Abjad, dan Media dari bahan-bahan cetak. Media-media tersebut dapat menunjang
pembelajaran dengan baik dan mempercepat pengentasan buta aksara di Desa
Tonralipue. Namun, secara teknis menurut Ketua PKK ibu Hj. Sudarmi Malik
mengatakan “dalam memilih media kita harus kreatif dan senantiasa melihat
keadaan warga belajar agar media yang Tutor gunakan biasa benar-benar secara
efektif menyampaikan bahan ajar dengan sebaik-baiknya kepada warga belajar”.[58]
C.
Metode Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara Di Desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
Metode sangat memegang peranan penting dalam pengajaran. Apaupun
pendekatan dan model yang digunakan dalam mengajar, maka harus difasilitasi
oleh metode mengajar. Menurut Nana Sudjana metode mengajar ialah cara yang dipergunakan
guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik/ warga belajar pada saat
berlangsungnya sebuah pengajaran.[59]
Dalam
membelajarkan warga belajar, diperluakan suatu usaha yang keras demi
mendapatkan hasil yang lebih baik. Tentu tujuan utamanya adalah memberantas
masyarakat yang tuna aksara. oleh karena itu, di butuhkan keterampilan dan
pertimbangan yang matang dalam memilih metode pembelajaran yang baik pada
setiap proses pembelajaran keaksaraan. Menurut kecceng, Tutor Keaksaraan
Fungsional di Desa Tonralipue, mengatakatakan bahwa: “Setidaknya ada lima hal
yang selalu kami pertimbangkan dalam memilih metode mengajar buta aksara di
Desa Tonralipue”[60], yakni:
1.
Tujuan
Pembelajaran
Pertimbangan ini merupakan syarat mutlak dalam pemilihan metode
yang akan digunakan. karena dengan menentukan tujuan pembelajaran maka kita
sebagai Tutor mampu memilih metode dengan baik dan efisien pada setiap
pembelajaran. Kecceng menambahkan bahwa “setiap kami telah menentukan tujuan
pembelajaran, maka kami akan menggunakan metode yang paling cocok pada proses
pembelajaran tersebut. Contohnya, kita akan mengajarkan kepada warga tentang
pengenalan huruf abjad (A-Z) dengan baik dan benar. Dalam hal ini metode yang
kami gunakan adalah metode ceramah. Dimana diterangkan nama masing-masing huruf
abjad. Kemudian metode demonstrasi, warga dapat mendemonstrasikan untuk
menyebutkan abjad satu persatu lalu menuliskannya di papan tulis. Selanjutnya
metode peberian tugas, dan bagaimana mereka dapat menuliskannya di buku tulis
mereka masing-masing”[61]
2.
Pengetahuan
awal warga belajar
Metode yang digunakan tergantung pada pengetehuan awal para warga
belajar. Dalam data yang ada, dari jumlah keseluruhan warga belajar sebanyak 39
orang, hanya 5 orang yang pernah ikut Sekolah Dasar dan 2 diantaranya sudah
berusia kurang lebih 60 tahun. Tentu ingatan mereka tentang pelajaran
sebelumnya sudah memudar. Sebagaiamana dikatakan Hj. Nafi, warga belajar Keaksaraan
Fungsional di Desa Tonralipue, mengatakan bahwa “saya pernah sekolah di SD
namun sebelum saya tamat, saya ikut merantau bersama kedua orang tua saya untuk
bekerja di Sumatra. Pada waktu itu saya baru kelas 3 SD dan sekarang saya sudah
tidak ingat sedikitpun mengenai pelajaran saya dulu”.[62]
Oleh karena itu, kita harus memulai kembali dari awal dan
menggunakan metode ceramah untuk pengenalan abjad, metode demonstrasi untuk melatih
cara menulis abjad, dan menggunakan metode peberian tugas untuk melatih dan membiasakan
menulis abjad.
3.
Alokasi waktu
dan sarana penunjang
Waktu merupakan hal yang harus diperhatikan agar dapat dimanfaatkan
dengan baik. Panjang waktu yang digunakan Keaksaraan Fungsional di Desa
Tonralipue sebanyak dua jam setiap kali pertemuan dan 2 kali pertemuan dalam
setiap minggunya. Menurut ibu Hj. Sudarmi Malik, Ketua PKK menjelaskan bahwa
“kami menyusun jadwal pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan sangat rumit,
hal ini terjadi karena jadwal pembelajaran sulit disesuaikan dengan jadwal para
warga yang mayoritas petani. Kami telah
menggunakan berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut namun hasilnya nihil,
dan tetap saja warga lebih mementingkan pekerjaannya menggarap sawah
dibandingkan dengan belajar CALISTUNG (Membaca, Menulis dan Berhitung).[63]
Oleh karena
data yang ada menunjukkan bahwa persentase dari keseluruhan warga tuna aksara
sekitar 70% orang dewasa maka hal ini menjadi persoalan yang mesti mendapatkan
perhatian serius dari pelaksana Keaksaraan Fungsional. Setidaknya ada 3 hal
pokok yang dapat kita simak dari Malcolm
Knowles dalam Hamzah B Uno bahwa pendidikan orang dewasa tidak bisa terlepas
dari Pertama, Kebutuhan untuk mengetahui mengapa harus belajar sesuatu?.
Kedua, konsep diri warga belajar bahwa meraka akan menolak dan menentang
situasi jika ada orang yang memaksakan kehendaknya. Dan Ketiga, Orientasi
belajar orang dewasa terpusat pada masalah kehidupan/ tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan
termotivasi untuk belajar asalkan meraka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari
tersebut akan menolong dirinya dalam melaksanakan tugas, menghadapi dan
menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam kehidupannya.[64]
Oleh sebab
itu, pengelolah dan pelaksana Keaksaraan Fungsional senantiasa menggunakan
pendekatan-pendekatan persuasif dalam menyampaikan
dan memotivasi warga bahwa pendidikan itu penting dari segalanya. Dan dengan memiliki kemampuan CALITUNG
maka kehidupan warga akan lebih bermakna dan bermutu serta akan menunjang dan
memudahkan segala aktifitasnya sesuai dengan konsep kehidupan kesehariannya.
4.
Jumlah warga
Dari 39 warga belajar, Tutor kemudian
membaginya 4 kelompok dan setiap kelompok beranggotakan maksimal 10
orang dan masing-masing kelompok ditangani
oleh 1 Tutor. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan proses pembelajaran, Tutor
tetap menggunakan metode ceramah sebagai langkah awal untuk memperkenalkan
jenis-jenis huruf abjad kepada warga belajar keaksaraan Desa Tonralipue.
Berikut nama-nama kelompok beserta Tutor yang menanganinya,
sebagai berikut:
Tabel 3
Data Kelompok 1 Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
Nama
|
Alamat
|
1
|
Sudarnawati
|
Dusun Tongrong
|
2
|
Hamsiah
|
Dusun Tongrong
|
3
|
Diman
|
Dusun Tongrong
|
4
|
Yati
|
Dusun Tongrong
|
5
|
Heri
|
Dusun Tongrong
|
6
|
I Tang
|
Dusun Tongrong
|
7
|
Indo Upe
|
Dusun Tongrong
|
8
|
Muchsin
|
Dusun Tongrong
|
9
|
Konding
|
Dusun Tongrong
|
10
|
Jumadi
|
Tonralipue
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
Tabel 4
Data Kelompok 2 Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
Nama
|
Alamat
|
1
|
Lammi
|
Dusun Pollappo
|
2
|
Maddareng
|
Dusun
Pollappo
|
3
|
Donggeng
|
Dusun
Pollappo
|
4
|
I Rifah
|
Dusun
Pollappo
|
5
|
Daliah
|
Dusun
Pollappo
|
6
|
Yayah Rukhayah
|
Dusun
Pollappo
|
7
|
Punru
|
Dusun
Pollappo
|
8
|
Musnaeni
|
Dusun
Pollappo
|
9
|
Hj. Dumma
|
Dusun
Pollappo
|
10
|
Indo Tang
|
Dusun
Pollappo
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
Tabel 5
Data Kelompok 3 Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
Nama
|
Alamat
|
1
|
Hj.
Sini
|
Dusun
Pollappo
|
2
|
H.
Demmu
|
Dusun
Pollappo
|
3
|
Hj.
Nafi
|
Dusun
Pollappo
|
4
|
I Dali
|
Dusun
Pollappo
|
5
|
Masse
|
Dusun
Pollappo
|
6
|
Mare
|
Dusun
Pollappo
|
7
|
Rawe
|
Dusun Pollappo
|
8
|
Ambo
Asse
|
Dusun
Pollappo
|
9
|
Alang
|
Dusun
Pollappo
|
10
|
St.
Halijah
|
Dusun
Pollappo
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
Tabel 6
Data Kelompok 4 Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo Tahun 2012
No
|
Nama
|
Alamat
|
1
|
I
Yamma
|
Dusun
Pollappo
|
2
|
St.
Hawang
|
Dusun
Pollappo
|
3
|
Palemmai
|
Dusun
Pollappo
|
4
|
Sule
|
Dusun
Pollappo
|
5
|
St.
Rahmin
|
Dusun
Pollappo
|
6
|
I
Bondeng
|
Dusun
Pollappo
|
7
|
Hanisah
|
Dusun
Pollappo
|
8
|
Muhammad
|
Dusun
Pollappo
|
9
|
Hj.
Alle
|
Dusun
Pollappo
|
Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Tahun 2012
5.
Pengalaman dan
kewibawaan pengajar.
Kewibawaan merupakan kelengkapan mutlak yang bersifat abstrak
karena Tutor akan berhadapan dan mengelola warga
belajar dengan latar belakang yang
berbeda beda. Kecceng mengatakan bahwa “dalam membelajarkan warga belajar, kami
selalu hati-hati dan mengedepankan kearifan kami apalagi dalam memilih metode
pembelajaran, pengalaman dan kewibawaan Tutor sangat berpengaruh dalam kondisi
pembelajaran yang dihadapi oleh Tutor”.[65]
Berdasarkan kemampuan awal, jenis kebutuhan belajar, dan sumber daya belajar yang terdata, maka Tutor dapat
memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat beberapa metode
pembelajaran yang dapat dipilih oleh Tutor dalam memfasilitasi pembelajaran
keaksaraan. Metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran adalah:
1. Metode Abjad/ Huruf
Metode abjad merupakan metode pembelajaran
yang menggunakan media “Poster Abjad” dan “Kamus Abjad”. Poster abjad digunakan
sebagai media pembelajaran untuk membantu warga belajar mengerti bagaimana cara
mengingat huruf, ejaan, dan kata-kata baru. Poster abjad juga bisa memudahkan
warga bealajar untuk membuat kamus abjad. “Kamus Abjad” adalah media
pembelajaran untuk membantu warga belajar dalam menyusun kata-kata yang
dipelajari melalui poster abjad, metode PPB, SAS dan kegiatan.
Indo Ake, salah satu Tutor yang sangat
aktif dalam membelajarkan warga belajar keaksaraan, mengatakan bahwa “pada
langkah awal pembelajaran pengenalan huruf kepada warga belajar pemula, metode
abjadlah yang paling efektif”.[66]
Observasi di lapangan menguatkan statement Indo Ake. Terlihat warga belajar
yang baru saja ikut serta dalam pembelajaran keaksaraan begitu antusias untuk
belajar, peserta juga dengan penuh semangat untuk mengenal dan menuliskan
huruf-huruf yang diajarkan oleh para Tutor.
2. Metode Suku Kata
Metode ini diawali dengan pengenalan dan
pemahaman terhadap suku-suku kata tertentu yang mudah dibentuk, ditulis,
dilafalkan dan yang paling banyak digunakan dalam pengucapan. Selanjutnya suku
kata tersebut diurai menjadi huruf, dan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata
baru.
Contoh:
Suku Kata
|
Makna
|
KU-KU
|
Bagian ujung jari tangan dan kaki
|
PI-PI
|
Bagian dari wajah
|
SA-SA
|
Bumbu Masakan
|
RO-TI
|
Makanan Ringan
|
DE-DE
|
Sebutan untuk adik
|
RU-MAH
|
Tempat tinggal
|
Sumber: Kementerian
Pendidikan Nasional (Direktorat
Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal),
Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.
Metode
ini digunakan agar warga belajar dapat dengan cepat mengenali dan mengetahui
huruf-huruf yang terkandung dalam sebuah kata. Seperti halnya contoh di atas,
setiap kata diambil dari sesuatu yang berhubungan dekat dengan warga belajar
lalu kemudian Tutor menjelaskan dan selanjutnya warga belajar mencari benda
atau organ tubuh mereka untuk di urai menjadi huruf-huruf.
3. Metode SAS (Strukturan Analitik Sintetik)
Metode SAS (Struktur Analisis Sintesis)
adalah suatu cara atau teknik membelajarkan masyarakat buta aksara dengan
membaca dan menulis yang menekankan pada struktur kalimat (SPO) terlebih dahulu
dengan mengurai menjadi bagian-bagian kata, suku kata dan huruf serta merangkai
kembali menjadi suku kata, kata, dan kalimat.
Metode SAS menekankan bahwa warga belajar
membaca dan menulis akan bermanfaat serta menarik minat warga belajar, jika
menggunakan informasi yang dekat dengan diri mereka. Ketertarikan semacam itu
akan bertambah jika apa yang dipelajarinya memang diperlukan oleh warga belajar
dan fungsional bagi kehidupannya. Adapun tahapan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. Tahap 1 : (Struktur)
Tutor menyusun struktur kalimat lengkap
yang terdiri dari subyek-predikat-obyek dan keterangan (SPOK).
b. Tahap 2 : (Analisis)
Memberikan pembelajaran tentang bagaimana
memahami suatu arti kalimat, kemudian diuraikan menjadi kata, suku kata, dengan huruf (analisis). Disamping itu,
warga belajar menghafal dan melafalkan huruf-huruf yang membangun kata dan
kalimat tersebut.
c. Tahap 3 : (Sintesis)
Warga belajar diminta untuk menyusun
huruf-huruf menjadi suku kata, kata dan kalimat semula (sintesis). Tahap ini
bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap hafalan dan struktur dari hasil
proses pada tahap selanjutnya.
Sebagai contoh:
SAYA MENANAM PADI DI SAWAH
SAYA
– MENANAM –
PADI – DI
– SAWAH
SA-YA
ME - NA – NAM PA - DI DI
SA – WAH
S
A Y A
M E N
A N A
M P A
D I D
I S A
W A H
SA-YA
ME - NA – NAM PA - DI DI
SA – WAH
SAYA
– MENANAM –
PADI – DI
– SAWAH
SAYA MENANAM PADI DI SAWAH
Sumber: Kementerian
Pendidikan Nasional (Direktorat
Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal),
Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.
Dengan
menerapkan metode ini, proses pembelajaran menjadi lebih mudah. Kecceng
mengatakan bahwa “metode ini sangat luwes dalam penerapannya, Tutor menuliskan
bahan ajarnya di papan tulis lalu kemudian dijelaskan dan disebutkan lalu warga
belajar ikut menyebutkan huruf, kata serta kalimatnya”.[67] Warga belajar sendiri
sangat antusias dan semangat dalam belajar sebagaimana diungkapkan oleh salah
satu warga belajar, Jumadi mengatakan bahwa “saya menjadi lebih bisa belajar
dengan metode SAS ini, karena kami diajarkan membaca dengan cara yang berbeda
yakni dengan menyebutkan satu buah kalimat lalu menuraikannya perkata kemudian
diuraikan lagi menjadi bagian-bagian huruf secara terpisah”[68]
4. Metode Kata Kunci (Key Words)
Dalam penggunaan metode ini, Tutor
membelajarkan warga belajar untuk membaca dan menulis berdasarkan permasalahan
yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata kunci tersebut dipilih dari berbagai alternatif kata
yang diajukan oleh warga belajar untuk dipilih digunakan memancing pikiran
kritis warga belajar sejak awal sampai pada akhir pembelajaran.
Contoh:
BAJU DASTER
BA
JU DAS TER
BALI
JUAL DASI TERI
Sumber: Kementerian
Pendidikan Nasional (Direktorat
Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal),
Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.
Penerapan metode ini dianggap yang paling rumit dari metode-metode
sebelumnya. Hasanawati HS mengatakan bahwa “metode ini tidak terlalu
berpengaruh bagi warga belajar terlebih lagi warga belajar yang tergolong masih
peserta baru. Oleh karena itu, sebaiknya metode ini digunakan bagi warga
belajar yang sudah dianggap mampu tapi tidak lancar karena tentu akan lebih
mudah dipahami dan dimengerti oleh mereka”.[69]
Berbagai macam metode di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam
mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
tidak terlepas dari ke empat metode yang digunakan oleh para Tutor Keaksaraan
Fungsional. Metode-metode tersebut dilaksanakan dan disesuaikan dalam
berbagai situasi belajar para warga belajar serta kemampuan warga belajar.
Menurut kecceng “kesemua metode itu dapat kita gunakan sewaktu-waktu. Bisa saja
hari ini kita menggunakan metode abjad dan besok kita berpindah menggunakan
metode suku kata. Ini dilakukan agar suasana belajar tetap kondusif dan para
warga belajar tidak bosan dengan metode yang statis”[70]
Keberhasilan dalam menggunakan metode-metode pembelajaran di atas tentu dititik beratkan pada keterampilan Tutor dalam
mengolah lingkungan belajar dengan baik dan benar.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, tentang Keaksaraan
Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo. Peneliti menemukan bahwa:
1.
Media pembelajaran yang digunakan
Keaksaraan Fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan
Tanasitolo Kabupaten Wajo dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni media ATK,
Media Poster abjad/ Flash Card dan Media dari bahan-bahan cetak. Ketiga
media inilah yang dinilai sangat efektif dan mampu mengentaskan buta aksara
walaupun secara perlahan namun berkesinambungan.
2.
Metode yang digunakan Keaksaraan
Fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo, yakni metode abjad atau huruf, metode suku kata, metode SAS (Strukturan Analitik Sintetik), dan metode kata
kunci (Key Words). Beberapa metode memang tidak secara langsung
mendapatkan hasil yang memuaskan, sangat diperlukan ketelitian dalam memilih
metode yang di sesuaikan dengan kondisi warga belajar. Selain itu, dipelukan
kesabaran agar hasil yang diinginkan bisa tercapai dengan baik.
73
|
B.
Saran-Saran
Sebagaimana hasil penelitian di atas, maka
peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.
Hendaknya dalam memilih
media pembelajaran, Tutor senantiasa mengamati kondisi dan hasil belajar
warganya, sehingga dengan begitu Tutor dapat memilih media yang baik serta
efesien dalam setiap proses pembelajaran keaksaraan.
2. Dalam memilih metode
pembelajaran, Tutor hendaknya selalu berfikir serta menganalisa metode-metode
yang baik serta efektif dalam setiap proses pembelajaran agar warga belajar
menunjukkan peningkatan-peningkatan kemampuan belajar seperti yang kita
harapkan.
3. Diharapkan kepada para pengelolah Keaksaraan Fungsional di Desa
Tonralipue untuk lebih memperhatikan dan mendukung penuh kegiatan Keaksaraan
Fungsional serta selalu berfikir kreatif menciptakan media yang baik dan
menjaga kualitas pembelajaran dengan metode-metode yang efesien dan efektif
4. Diharapkan setiap
daerah yang memiliki buta aksara terbanyak agar biasa manggunakan media yang
berfariasi dan metode yang efektif agar percepatan pengentasan buta aksara
dapat dicapai dengan segera.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Nazali Shaleh. Al Tarbiyyah wa Mujtama’,
ter. Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan
Masayarakat. Yogyakarta: Sabda Media, 2011.
Aryad,
Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006.
Arikunto,
Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka
Cipta, 1996.
Basleman,
Anisah dan Syamsu Mappa. Teori Belajar
Orang Dewasa. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
________“Buta
Aksara Fungsional.” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional
(08 Maret 2012)
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka,1991.
Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, data tahun 2010.
Ensiklopedi
Nasional Indonesia. Aksara. Jilid 1
Cet. IV; Bekasi: Delta Pamungkas, 2004.
Hamalik,
Oemar. Media Pendidikan. Cet. VI; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.
Himpunan
PP 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2011.
Kamil,
Mustofa. Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung:
Alfabeta, 2010.
75
|
Marzuki
, M. Saleh. Pendidikan Nonformal.
Surabaya: Remaja Rosdakarya, 2010.
Musfiqon,
Pengembangan Media dan Sumber
Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012.
Republik
Indonesia. “Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan
Nasional”, bab IV, Pasal Lima ayat 1.
Riduwan.
Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru,
Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta, 2011.
Rohani,
Ahmad. Media Instruksional Edukatif. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin.
Pendidikan Non Formal: Suatu Pengantar
dalam Pemahaman Konsep dan Perinsip-Prinsip Pengembangan. Ujung Pandang:
IKIP Ujung Pandang, 1985.
Saliman
dan Sudarsono. Kamus Pendidikan
Pengajaran dan Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sarwono,
Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sugiyono.
Statistik untuk Penelitian. Cet. IX;
Bandung: Alfabeta, 2002.
Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar.
Cet. IV; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004.
Sujarwo.
Konsep Dasar Keaksaraan Fungsional:
Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri, Yogyakarta,
2008.
Sulton,
Latifah. Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional (KF). Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Bogor: 2008.
Suprijanto.
Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga
Aplikasi. Cet. III; Jakarta:Bumi Aksara, 2009.
Syah,
Muhibbin. Psikologi Belajar. Cet.XI;
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Tim
Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah “Ideologi, Politik, Hukum,
Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains. Edisi Lengkap. Cet. I; Surabaya:
Gitamedia Press, 2006.
UNESCO.
The Plurality of Literacy and its
implications for Policies and Programmes
(France: the United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization, 2004.
Uno,
Hamzah B. Model Pembelajaran: Menciptakan
Proses Belajar yang Kreatif dan Efektif. Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara,
2011.
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
M. Awaluddin lahir di Wajo 15 Februari 1989 sebagai anak pertama
dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad Saleh RM dan Ibunya bernama A.
Tenri Sa’na. Ia pertama kali menempuh jenjang pendidikan formal pada tahun 1994
di SD No. 147 Lautang Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dan menyelesaikan Sekolah
Dasarnya pada Tahun 2001. Selanjutnya ia menempuh pendidikan di Madrasah
Tsanawiyah No. 1 Belawa dan lulus pada tahun 2004. Setelah itu, Ia kemudian
hijrah ke Makassar dan di sanalah Ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas
di Mandrasah Aliyah Negeri 3 Biringkanaya Makassar dan selesai pada tahun 2007.
Setelah selesai di MAN, Ia kemudian melanjutkan pendidikan di salah satu
perguruan tinggi Islam di Makassar yakni STAI Al-FURQAN dengan mengambil
Program Studi Agama Jurusan Pendidikan Agama Islam. Namun, setelah 2 tahun
berjalan Ia kemudian memutuskan untuk mentrasfer nilainya ke Universitas Islam Makassar
dengan mengambil Jurusan yang sama. Dan pada Tahun 2012, Ia menyelesaikan
studinya dan mendapat gelar Strata Satu (S1) sebagai Sarjana Pendidikan Islam
(S.Pd.I).
78
|
[1] Republik
Indonesia, “Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional”, bab IV, Pasal Lima ayat 1.
[2] Himpunan PP
2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2011), h. 38.
[3] Nazili Shaleh
Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’, ter.
Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan
Masayarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), h. 115.
[4] Sujarwo, “
Konsep Dasar Keaksaraan Fungsional” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), h. 4.
[5] Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi selatan, data tahun 2010.
[6] Sahabuddin, Pendidikan Non Formal (Suatu Pengantar dalam
Pemahaman Konsep dan Prinsip-Prinsip Pengembangan) ( Ujung Pandang: IKIP
Ujung Pandang,1985), h. 48.
[7] Republik
Indonesia, “ Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, loc.cit.
[8] Nazili Shaleh
Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’., op. cit., h. 119.
[9] Sujarwo, loc. cit.
[10] Saliman dan
Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran
dan Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 8.
[11] Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah
“Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains. Edisi Lengkap
(Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 145.
[12] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Balai Pustaka, 1991), h. 160.
[13] “ Buta Aksara
Fungsional,” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional
( 08
Maret 2012).
[14] Himpunan PP
2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, op.cit., h. 44.
[15] M. Saleh
Marzuki, Pendidikan Nonformal. (Surabaya:
Remaja Rosdakarya, 2010), h. 116.
[16] Ibid., h. 120.
[17] Ibid., h. 121.
[18] Sujarwo, loc.cit.
[19] Latifah
Sulton, Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional, (Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Bogor: 2008), h. 12-13.
[20] Nazili Shaleh
Ahmad, op.cit., h. 123.
[21] Sujarwo, op. cit., h. 7.
[22] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, loc. cit.
[23] Ensiklopedia Nasional Indonesia, “Aksara”,
Jilid 1 (Cet. IV; Bekasi: Delta Pamungkas, 2004), h. 216.
[24] Ibid., h. 215.
[25] UNESCO, The
Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programmes (France: the United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization, 2004), h. 13.
[26] M. Saleh
Marzuki, op.cit., h. 166.
[27] Mustofa Kamil,
Andragogi, (t.t, t.p, t.th), (17
Maret 2012).
[28] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga
Aplikasi (Cet. III; Jakarta:Bumi Aksara, 2009), h. 12.
[29] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit.,
h. 14.
[30] Muhibbin Syah,
Psikologi Belajar (Cet.XI; Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 68.
[31] Mustofa Kamil,
Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep
dan Aplikasi) (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 37.
[32] Hamzah B. Uno,
Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar yang Kreatif dan Efektif (Cet.
VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 58.
[33] Anisah Basleman dan Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 29.
[34] Ibid., h. 32.
[35] Oemar Hamalik,
Media Pendidikan (Cet. VI; Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989), h. 11.
[36] Ibid., h. 12.
[37] Musfiqon, Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran
(Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012), h. 116.
[38] Ibid., h. 118-121.
[39] Azhar Arsyad, Media Pembelajaran (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 76.
[40] Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), h. 30.
[41] Suharsini
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 115.
[42] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, (Cet. IX;
Bandung: Alfabeta, 2002), h. 56.
[43] Ibid, h. 221.
[44] Riduwan, Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru,
Karyawan, dan Peneliti Pemula (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 207.
[45] Jonathan
Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 193.
[46] Riduwan, op.
cit., h. 69.
[47] Jonathan
Sarwono, op.cit., h. 224.
[48] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan., op.cit., h.
1127.
[49] Jonathan
Sarwono, op. cit., h. 225.
[59] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar
(Cet. IV; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 76.
Silahkan masukkan email anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar